Rogojampi 2001|
Baru kali ini aku tak sabar masuk sekolah sejak hujan pertama bulan Desember.
Rasanya hari minggu ini lamaaa…sekali. Setelah beberapa menit senyum senyum
sendiri di balik jendela kamarku yang basah oleh hujan, aku memutuskan
untuk pergi menemui Dian, untuk memastikan ia juga akan membawa “itu” ke
sekolah. Meski tidak membelinya pada waktu bersamaan, tapi warna yang kami
pilih sama persis, biru muda! Diam-diam aku meninggalkan kamar menuju pintu
depan, sepertinya ibu sedang sibuk melakukan sesuatu di dapur.
“buuu….aku ke rumah diaan…” teriakku sambil lalu. Tentu saja aku tak boleh
mendengarkan izin ibu terlebih dahulu, bagaimana jika tidak boleh? Benar kan!
Aku berlari keluar rumah dengan payung berstempel BRI yang biasa dipakai ibu.
Ternyata payung itu jauh lebih berat dari dugaanku, sehingga mengangkatnya saja
sudah sangat sulit. Samar-samar aku mendengar teriakan ibu dari jauh “Lin
hujaaaan!” tapi sudahlah.
“heii banguuun!” aku mengguncang tubuh Dian kuat-kuat untuk membangunkannya.
Aku tahu sekarang ini memang waktunya tidur siang, tapi aku benar-benar harus
memastikannya. Dian menggeliat, raut wajahnya mengatakan Pergi sana! ke arahku. Aku tak peduli.
“Apa?!” lirihnya.
“besok kamu bawa ituu kan? Harus! Besok pasti hujan sepulang sekolah” kataku sumringah.
“hmm…” Dian mengganggukkan kepalanya satu kali.
“Janji?”
“Janji” kita melakukan janji kelingking.
“terus?”
“apanya?”
“terus apa lagi yang ingin kamu bicarakan?”
“sudah cuma itu” aku mengedikkan bahu. Ia memandangku tak percaya dan masih
dengan wajah jengkelnya ketika kembali berbaring. Memang cuma itu yang ingin
aku sampaikan, tapi aku tak ingin segera pulang mengingat betapa susahnya
perjuanganku berlari dengan payung super besar di atasku. Jadi kuputuskan untuk
tidur disampingnya siang itu.
“Lin, dian, mana payungmu?” Tanya Sofia pada jam istirahat. Aku dan Dian saling
melirik satu sama lain. Kami sudah memutuskan untuk memberi tahu Sofia rahasia
kita.
“Aku tidak membawa payung, Dian juga. Kita membawa jas hujan!” bisikku. Dian
mengangguk bersemangat mengiyakan. Seperti yang kuduga, Sofia langsung
memperlihatkan mimik kagumnya ke arah kami.
“mana? Mana? Aku mau lihaaat”
“sudahlah, nanti juga tahu” sahut Dian. Aku meliriknya kesal. Padahal aku sudah
bersiap-siap membuka tasku untuk menunjukkannya pada Sofia.
Akhirnya bel pulang sekolah terdengar juga. Teman-teman sekelas mulai
berhamburan ricuh karena hujan siang itu terlalu deras untuk diterjang oleh
para lelaki, seperti anak kecil saja, pikirku. Mereka yang membawa
payung juga ikut-ikutan ricuh karena payung saja tak cukup melindungi mereka
dari angin yang menerbangkan hujan. Aku mengeluarkan jas hujan biru muda dari
dalam tas dan mulai memakainya, Dian juga melakukan hal yang sama. Aku
merasakan suasana mulai hening dan semua anak memandang ke arah kami. Mungkin
karena kami yang pertama kali punya jas hujan kecil seperti ini di kelas.
Jas hujan kami berwarna biru muda dengan model yang sama persis, atasan baju
lengan selutut dengan hoodie pelindung kepala dan bawahan celana
panjang. Hanya gambar pada jas hujan itulah yang membedakannya. Kami memakainya
secepat kilat hingga melupakan satu hal, bagaimana dengan tas kami?
“bagaimana caramu memakai tas?” celetukku pada Dian. Ia memandangku dengan
pandangan yang sama.
“coba kita pakai dulu tasnya lalu kita pakai jas hujannya” jawabnya. Kami
mencobanya. Tiba-tiba segerombolan anak lelaki terbahak sambil berteriak ke
arah kami.
“hei, ada orang bungkuk! hahahahaa”
Wajah kami memerah karena malu, benar juga... kami jadi terlihat seperti orang
bungkuk. Lagi pula ternyata jas hujan ini sama sekali tidak melindungi sepatu
kami. Aku cepat-cepat menanggalkan jas hujan yang sudah dua kali kupakai itu
kemudian berpikir keras.
“bagaimana kalau kita bungkus tas dan sepatu kita dengan jas hujan ini? tak
masalah baju kita basah, nanti kan bisa dijemur? Tapi kalau sepatu dan tas lama
sekali keringnya” jelasku pada dian panjang lebar. Dian sepertinya setuju
dengan ide cemerlangku dan perlahan membuka jas hujannya. Kami membuka sepatu
dan kaos kaki lalu membungkusnya dengan atasan jas hujan bersamaan dengan tas.
Setelah rapi terbungkus, kami mulai bersiap-siap keluar kelas.
“kalian ini sedang apa?” Tanya Sofia yang dari tadi memperhatikan kami dengan
raut keheranan di wajahnya. Kami tersenyum bersamaan.
“maaf sof, kami tak bisa pulang denganmu karena kami harus lari secepat kilat
sambil membawa ini” kata Dian seraya menunjuk bungkusan yang mirip kantong
sampah berwarna biru. Aku mengangguk. Sofia hanya mengedikkan bahunya seakan
berkata “terserah” dalam hati.
Aku berlari sekuat tenaga bersama Dian menerjang hujan yang sepertinya tak mau
mengalah sama sekali. Karena tas dan sepatu kami lumayan berat, kami
menyeretnya sepanjang jalan menuju rumah. Rasanya menyenangkan sekali. Entah
mengapa aku merasa puas karena jas hujan ini bisa melindungi tas dan sepatuku
dengan sempurna meskipun kami harus berkorban basah kuyub demi itu.
Akhirnya kami berpisah dipersimpangan jalan, masih dengan tawa penuh
kemenangan. Dengan polosnya aku membuka pintu rumah dan menerobos masuk menuju
dapur. Seantero ruangan jadi bau tanah dan basah oleh air yang menetes dari
sekujur tubuhku. Setelah melemparkan bungkusan tas dan sepatu, aku langsung ke
kamar mandi untuk berbilas sebelum kemudian ibu muncul dari dalam kamar dengan
suara seperti tercekik.
“Masya Allah nak… kok bisa basah semua to nduk…” aku meringis
tanpa dosa dan menjelaskan apa yang baru saja aku lakukan.
“Ya Allah… coba lihat ini!” ibu mengambil jas hujan yang membungkus tas
dan sepatuku dan melebarkannya agar aku bisa melihat dengan jelas. Seketika itu
juga rasa puas dan bangga dalam dadaku menguap begitu saja ketika melihat jas
hujanku dalam kondisi sangat kritis. Terdapat lubang dan sobekan dimana-mana
dan kotornya……minta ampun.
“kalau sudah seperti ini tak mungkin bisa kamu pakai lagi” ujar ibu, nadanya
terdengar sedih. Setelah itu aku hanya bisa meratapi jas hujan biru muda yang
baru saja aku pakai hari ini sambil terisak keras. Ibu tak henti-hentinya
mengatakan “sudahlah, kita beli yang baru dengan kesepakatan tak boleh
memakainya untuk membungkus apapun lagi”. Tapi aku menolaknya. Tidak jas hujan
lagi.
Esoknya di sekolah. Kulihat raut wajah Dian sama muramnya denganku, aku tak
tahu apakan nasib jas hujannya sama seperti jas hujanku atau malah lebih parah.
Aku tak mau bertanya, karena sejak itu kami memutuskan untuk tidak membahas
apapun yang berhubungan dengan jas hujan.
“Lin, Dian, coba lihat jas hujan baruku!” kata beberapa anak di kelas seusai
sekolah. Mereka mengeluarkan setelan jas hujan seperti punya kami dengan
warna-warna yang kekanakan, menurutku. “Keluarkan jas hujan kalian, kita pulang
sama-sama yuk!”
“percuma pakai jas hujan, yang penting kan kepala kita terlindungi dari hujan”
kata Dian seraya berjalan keluar kelas dengan payung kecil seukurannya.
Aku menahan air mata sekuat tenaga sambil membuka payung BRI milik ibu yang
kebesaran lalu berlari pulang menuju rumah.
____________________________________