Lintangra

✿ stay simple, stay humble ✿

Jumat, 30 September 2016

Semangkuk Cinta #3


Rogojampi 2001|

             Baru kali ini aku tak sabar masuk sekolah sejak hujan pertama bulan Desember.
            Rasanya hari minggu ini lamaaa…sekali. Setelah beberapa menit senyum senyum sendiri di balik jendela kamarku yang basah oleh hujan, aku  memutuskan untuk pergi menemui Dian, untuk memastikan ia juga akan membawa “itu” ke sekolah. Meski tidak membelinya pada waktu bersamaan, tapi warna yang kami pilih sama persis, biru muda! Diam-diam aku meninggalkan kamar menuju pintu depan, sepertinya ibu sedang sibuk melakukan sesuatu di dapur.
            “buuu….aku ke rumah diaan…” teriakku sambil lalu. Tentu saja aku tak boleh mendengarkan izin ibu terlebih dahulu, bagaimana jika tidak boleh? Benar kan!
            Aku berlari keluar rumah dengan payung berstempel BRI yang biasa dipakai ibu. Ternyata payung itu jauh lebih berat dari dugaanku, sehingga mengangkatnya saja sudah sangat sulit. Samar-samar aku mendengar teriakan ibu dari jauh “Lin hujaaaan!” tapi sudahlah.
            “heii banguuun!” aku mengguncang tubuh Dian kuat-kuat untuk membangunkannya. Aku tahu sekarang ini memang waktunya tidur siang, tapi aku benar-benar harus memastikannya. Dian menggeliat, raut wajahnya mengatakan Pergi sana! ke arahku. Aku tak peduli.
            “Apa?!” lirihnya.
            “besok kamu bawa ituu kan? Harus! Besok pasti hujan sepulang sekolah” kataku sumringah.
            “hmm…” Dian mengganggukkan kepalanya satu kali.
            “Janji?”
            “Janji” kita melakukan janji kelingking.
            “terus?”
            “apanya?”
            “terus apa lagi yang ingin kamu bicarakan?”
            “sudah cuma itu” aku mengedikkan bahu. Ia memandangku tak percaya dan masih dengan wajah jengkelnya ketika kembali berbaring. Memang cuma itu yang ingin aku sampaikan, tapi aku tak ingin segera pulang mengingat betapa susahnya perjuanganku berlari dengan payung super besar di atasku. Jadi kuputuskan untuk tidur disampingnya siang itu.

            “Lin, dian, mana payungmu?” Tanya Sofia pada jam istirahat. Aku dan Dian saling melirik satu sama lain. Kami sudah memutuskan untuk memberi tahu Sofia rahasia kita.
            “Aku tidak membawa payung, Dian juga. Kita membawa jas hujan!” bisikku. Dian mengangguk bersemangat mengiyakan. Seperti yang kuduga, Sofia langsung memperlihatkan mimik kagumnya ke arah kami.
            “mana? Mana? Aku mau lihaaat”
            “sudahlah, nanti juga tahu” sahut Dian. Aku meliriknya kesal. Padahal aku sudah bersiap-siap membuka tasku untuk menunjukkannya pada Sofia.

            Akhirnya bel pulang sekolah terdengar juga. Teman-teman sekelas mulai berhamburan ricuh karena hujan siang itu terlalu deras untuk diterjang oleh para lelaki, seperti anak kecil saja, pikirku. Mereka yang membawa payung juga ikut-ikutan ricuh karena payung saja tak cukup melindungi mereka dari angin yang menerbangkan hujan. Aku mengeluarkan jas hujan biru muda dari dalam tas dan mulai memakainya, Dian juga melakukan hal yang sama. Aku merasakan suasana mulai hening dan semua anak memandang ke arah kami. Mungkin karena kami yang pertama kali punya jas hujan kecil seperti ini di kelas.
            Jas hujan kami berwarna biru muda dengan model yang sama persis, atasan baju lengan selutut dengan hoodie pelindung kepala dan bawahan celana panjang. Hanya gambar pada jas hujan itulah yang membedakannya. Kami memakainya secepat kilat hingga melupakan satu hal, bagaimana dengan tas kami?
            “bagaimana caramu memakai tas?” celetukku pada Dian. Ia memandangku dengan pandangan yang sama.
            “coba kita pakai dulu tasnya lalu kita pakai jas hujannya” jawabnya. Kami mencobanya. Tiba-tiba segerombolan anak lelaki terbahak sambil berteriak ke arah kami.
            “hei, ada orang bungkuk! hahahahaa”
            Wajah kami memerah karena malu, benar juga... kami jadi terlihat seperti orang bungkuk. Lagi pula ternyata jas hujan ini sama sekali tidak melindungi sepatu kami. Aku cepat-cepat menanggalkan jas hujan yang sudah dua kali kupakai itu kemudian berpikir keras.
            “bagaimana kalau kita bungkus tas dan sepatu kita dengan jas hujan ini? tak masalah baju kita basah, nanti kan bisa dijemur? Tapi kalau sepatu dan tas lama sekali keringnya” jelasku pada dian panjang lebar. Dian sepertinya setuju dengan ide cemerlangku dan perlahan membuka jas hujannya. Kami membuka sepatu dan kaos kaki lalu membungkusnya dengan atasan jas hujan bersamaan dengan tas. Setelah rapi terbungkus, kami mulai bersiap-siap keluar kelas.
            “kalian ini sedang apa?” Tanya Sofia yang dari tadi memperhatikan kami dengan raut keheranan di wajahnya. Kami tersenyum bersamaan.
            “maaf sof, kami tak bisa pulang denganmu karena kami harus lari secepat kilat sambil membawa ini” kata Dian seraya menunjuk bungkusan yang mirip kantong sampah berwarna biru. Aku mengangguk. Sofia hanya mengedikkan bahunya seakan berkata “terserah” dalam hati.

            Aku berlari sekuat tenaga bersama Dian menerjang hujan yang sepertinya tak mau mengalah sama sekali. Karena tas dan sepatu kami lumayan berat, kami menyeretnya sepanjang jalan menuju rumah. Rasanya menyenangkan sekali. Entah mengapa aku merasa puas karena jas hujan ini bisa melindungi tas dan sepatuku dengan sempurna meskipun kami harus berkorban basah kuyub demi itu.
            Akhirnya kami berpisah dipersimpangan jalan, masih dengan tawa penuh kemenangan. Dengan polosnya aku membuka pintu rumah dan menerobos masuk menuju dapur. Seantero ruangan jadi bau tanah dan basah oleh air yang menetes dari sekujur tubuhku. Setelah melemparkan bungkusan tas dan sepatu, aku langsung ke kamar mandi untuk berbilas sebelum kemudian ibu muncul dari dalam kamar dengan suara seperti tercekik.
            “Masya Allah nak… kok bisa basah semua to nduk…” aku meringis tanpa dosa dan menjelaskan apa yang baru saja aku lakukan.
            “Ya Allah… coba lihat ini!” ibu mengambil jas hujan yang membungkus tas dan sepatuku dan melebarkannya agar aku bisa melihat dengan jelas. Seketika itu juga rasa puas dan bangga dalam dadaku menguap begitu saja ketika melihat jas hujanku dalam kondisi sangat kritis. Terdapat lubang dan sobekan dimana-mana dan kotornya……minta ampun.
            “kalau sudah seperti ini tak mungkin bisa kamu pakai lagi” ujar ibu, nadanya terdengar sedih. Setelah itu aku hanya bisa meratapi jas hujan biru muda yang baru saja aku pakai hari ini sambil terisak keras. Ibu tak henti-hentinya mengatakan “sudahlah, kita beli yang baru dengan kesepakatan tak boleh memakainya untuk membungkus apapun lagi”. Tapi aku menolaknya. Tidak jas hujan lagi.

            Esoknya di sekolah. Kulihat raut wajah Dian sama muramnya denganku, aku tak tahu apakan nasib jas hujannya sama seperti jas hujanku atau malah lebih parah. Aku tak mau bertanya, karena sejak itu kami memutuskan untuk tidak membahas apapun yang berhubungan dengan jas hujan.
            “Lin, Dian, coba lihat jas hujan baruku!” kata beberapa anak di kelas seusai sekolah. Mereka mengeluarkan setelan jas hujan seperti punya kami dengan warna-warna yang kekanakan, menurutku. “Keluarkan jas hujan kalian, kita pulang sama-sama yuk!”
            “percuma pakai jas hujan, yang penting kan kepala kita terlindungi dari hujan” kata Dian seraya berjalan keluar kelas dengan payung kecil seukurannya.
            Aku menahan air mata sekuat tenaga sambil membuka payung BRI milik ibu yang kebesaran lalu berlari pulang menuju rumah.
____________________________________

Read More

Semangkuk Cinta #2


Rogojampi, 2004 |

            “Assalamu’alaikuuuum…” teriakku ketika masuk kelas dengan menenteng sekeresek besar bungkusan-bungkusan susu kedelai di tangan kananku.
“Wa’alaikum salam!” Sontak sebagian penghuni kelas mengerumuniku. Dengan santainya aku meletakkan keresek itu di atas bangkuku dan membiarkan teman-teman mengambil pesanan mereka. Satu persatu mereka menyodorkan uang receh lima ratus rupiah ke arahku yang langsung aku masukkan ke dalam saku. Tak beberapa lama bel masuk berbunyi.
            “sayang nggak bisa diminum sekarang, sudah masuk” bisik Dian, teman sebangkuku. Aku senang melihat wajah kecewanya ketika memasukkan bungkusan susu kedelai ke laci bawah bangku.
            “sst…kita minum diam-diam saja selagi pak guru menjelaskan!” balasku berbisik. Kami berdua terkikik bersamaan, namun memutuskan untuk meletakkannya kembali dalam laci.

            “ini bu, lima ribu” aku memberikan uang receh kepada ibu.
            “lho? Kan tadi ibu bawakan dua belas bungkus?”
            “yang dua aku minum sendiri” jawabku tanpa dosa.
            “kan Lin sudah bawa satu untuk diminum? Jadi totalnya tiga belas bungkus”
            “ah…berarti aku minum tiga bu! Hehehe”
            Ibu hanya tertawa menggelengkan kepalanya seraya meletakkan uang receh itu ke dalam gelas plastik di atas kulkas. Aku meminta gelas itu, menumpahkan isinya ke lantai dan mulai menghitung hasil yang kami peroleh hari ini. Semakin bertambah dari hari pertama kami menjualnya.
            Ibu juga menambah bahan kedelai lebih banyak dan hampir tiap malam aku menemani ibu membungkus susu kedelai, terkadang aku dan adik mengerjakan PR disamping ibu yang tengah serius membungkus atau membantunya mengaduk-aduk susu kedelai dalam panci di atas kompor. Ibu memberikan perasa buah-buahan pada susu kedelai yang sudah akan dibungkusnya. Aku dan adik mendapat kesempatan memilihkan rasa-rasa itu dan selalu berharap ada sisa di baskom yang terlalu sedikit untuk ikut dibungkus.
Ibu… Ibu yang tak pernah berhenti tersenyum meski harus semalaman mengerjakan itu setelah seharian membereskan pekerjaan rumah dan memasakkan makanan untuk kami bertiga setiap hari…

|| Rogojampi, 1999 ||

            “lho? Kok ibu ikut mengantar juga?” lirihan pelan yang kutujukan pada ayah rupanya terdengar juga oleh ibu.
            “ibu kan juga ingin melambaikan tangan ketika Lin masuk ke dalam sekolah” bisik ibu di dekat telingaku. Aku hanya menunduk.
            Sehari sebelumnya Shinta pernah berkata padaku dan teman-teman yang lain. Bahwa anak yang diantar sekolah oleh ibunya itu adalah anak manja dan dia tidak mau berteman dengan anak manja. Ada diantara teman-temanku yang ikut mendengarkan menangis seketika karena ibunya tak hanya mengantar, tapi bahkan menunggunya hingga sekolah usai. Bagaimana jika Shinta tak mau berteman denganku lagi?
            “sudah yaah….sampai sini saja!”
            “kenapa?” meski keheranan ayah tetap menghentikan motor di depan masjid yang hanya berjarak beberapa meter dari sekolahku, Aisyah Bustanul Atfal. Seketika aku bergegas turun dari motor. Ibu yang duduk di belakang ayah sambil menggendong adik, menghentikan langkahku.
            “kenapa to nduk?”
            Entah mengapa tiba-tiba saja aku ingin sekali menangis. Namun aku berhasil mencegahnya dengan berteriak kepada ibu.
            “Lin malu kalau ibu ikut mengantar!” aku berlari ke arah gerbang sekolah tanpa berpamitan dan tanpa melihat ke belakang lagi. Langkah kakiku yang pendek membuat gerbang terasa sangat jauh. Aku tahu ibu masih memandangiku di depan masjid dengan pandangan sedih.
            Sejak awal ibu memang tak pernah mengantarku apalagi menungguiku di sekolah. Hanya pada saat pertama kali aku masuk sekolah, karena ibu harus merawat adik yang masih berumur kurang dari dua tahun. Kakiku berhenti berlari. Kutangkupkan kedua telapak tangan ke wajahku dan menangis. Aku ingin melihat ke belakang sekali lagi. Apa ibu masih berdiri disana? Apa ibu juga menangis sama sepertiku? Apa ibu masih ingin melambaikan tangan padaku seingin aku melambaikan tangan padanya? Tapi aku tak pernah tahu.
Read More

Selasa, 04 November 2014

Semangkuk Cinta #1


“ibu bikin apa?”
“bikin susu sari kedelai, nanti kita jual nduk, buat tambah-tambah uang jajanmu”
“asyiik…., tapi bu, aku lebih suka bawa ini untuk saku di sekolah, jadi ndak perlu uang jajan”
“iya, tapi tetap harus dijual, buat makan kita juga to nduk” ibu tersenyum mengusap rambutku.
“o….” dengan polosnya aku hanya bisa mengangguk mengiyakan kata-kata ibu.
            Malam itu aku menghabiskan waktu menemani ibu membungkus satu persatu sari kedelai dari baskom besar ke plastik-plastik kecil. Aku tak membantu, hanya bercerita banyak-banyak tentang apa yang terjadi hari ini dari berangkat sekolah hingga pulang. Sesekali ibu tertawa mendengarnya, membuatku semakin semangat untuk bercerita hingga bungkusan terakhir diletakkan ibu ke dalam keranjang plastik. Sembari membangunkan ayah yang terlelap di depan tv untuk menggendong adik ke tempat tidurnya, ibu memintaku untuk menata bungkusan-bungkusan susu ke dalam kulkas.
            “ibu, apakah kita akan menjualnya berkeliling kampung?”
            “tidak sayang, kita akan menjualnya disini, biar orang-orang yang datang kemari untuk membeli. Nanti kita tempel tulisan ‘jual susu kedelai’ di depan pintu rumah ya?”
            “iyaa” jawabku bersemangat.

            “ibuuuu….. aku pulaaaang” aku menyembur masuk ke dalam rumah tanpa memperdulikan betapa sepatu yang masih kukenakan mengotori lantai rumah dari ruang tamu hingga dapur.
            “wa’alaikum salaam…” jawab ibu yang tengah mencuci piring di westafel. Aku tersipu.
            “as…salamu’alaikuum… hehehe. Lupa” dalihku, seraya mencium tangan kanan ibu yang basah. Langsung saja aku tanggalkan seragam sekolahku, bertumpukan dengan sepatu dan tas warna coklat kesayanganku, lalu berlari ke kamar mandi mengabaikan teriakan lembut ibu yang menyuruhku menaruh semua barang-barang itu pada tempatnya.
            “bu…bu, tadi teman-teman banyak yang minta susu yang aku bawa. Dian, Sofia, Intan, Indah, banyak bu. Kata mereka besok aku harus membawa lagi” jelasku ketika keluar dari kamar mandi. Ibu hanya tersenyum sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah tumpukan barang-barangku. Dan sekali lagi aku mengabaikannya.
            “lalu aku bilang, ibuku jualan susu kedelai di rumah. Kalo mau ya beli! Hahaha” entah kenapa pada saat itu aku sudah bisa berfikir tentang bisnis.
            “lalu?”
            “besok aku bantuin jual ke sekolah ya bu? Pasti laku! Banyak yang suka kok bu…”
            “kamu ndak malu jualan di sekolah?”
            “ndak bu!”
Aku hampir melompat kegirangan ketika ibu mengangguk dengan senyuman. Aku memeluk perutnya dan berlari keluar dapur, takut kalau tiba-tiba ibu sadar aku belum membereskan barang-barangku. Mana bisa, tak ada waktu! Aku ada janji dengan Dian akan main di rumahnya sepulang sekolah. Namun yang kudengar teriakan ibu dari dapur adalah:
“jangan lupa pakai baju!”
 
===========================



Read More

Senin, 06 Mei 2013

Snack for iftar: Onion Pakkavada


Assalamu'alaikum....
this beautiful monday morning, I want to share a special food from Malayalam (kerala, India), "May Allah give me chance to go to there" . aameen... hehee
I got that recipe from shiju-kka, it's so delicious to be a snack for Iftar today. Let's try it! ^_~

~ Onion Pakkavada ~

Ingredients:
-onion (chopped) 2 cups
-gram flour 1 cup
-garlic (chopped) 7 cloves
-green chillies (sliced) 5 
-curry leaves 3 stalks
-chilly powder 1/4 tsp
-salt to taste
-oil (ghee or butter), for deep frying

method:
1. mix the ingrediens from 1 to 7 well
2. add little water and prepare a thick butter
3. heat oil in a work, fry some of the onion mixture
4. fry the pakkavada on medium heat 'till golden brown on both side or untill crispy
5. drain the pakkavada on en absorbent paper
6. serve it hot

Alhamdulillah.... hmmm......yummy! actually I got some trouble with this recipe, but anyway I can cook it ;)
I can't get a good picture, so use someone else's pic. hehe...
Happy fasting with Barrakallah ^_^
Read More

Kamis, 16 Agustus 2012

Keikhlasan Mendatangkan Berkah


          Aku menggerutu karena hingga sore ini adik belum juga pulang dari sekolah. Seharusnya belanja adalah tugasnya sedangkan tugasku adalah memasak. Hari-hari sebelum Ramadhan juga selalu aku yang melakukan dua hal ini sekaligus, aku hanya minta satu pengecualian khusus di Bulan ini. Jika tidak karena adik setelat ini, aku tidak akan berpanas-panas-ria dikerumunan orang yang sibuk belanja untuk keperluan buka puasa. Dan yang paling membuatku semakin geram adalah karena aku sendiri belum tahu apa yang akan aku masak sore ini.
          Aku mengusap keringat di bawah hidung dengan sapu tangan dan menutul-nutulkannya pada bagian wajah yang lain. Mataku jelalatan mencari tempat untuk duduk seraya berfikir apa yang harus aku beli. Untung saja tak beberapa lama aku menemukannya dan langsung duduk tanpa melihat orang-orang di kanan-kiriku, kuambil dompetku dan melihat isinya seraya berpikir tentang apa yang seharusnya aku beli sore ini.
          “nak, beli tape ketan?” Tanya seorang ibu paruh baya menawarkan barang dagangannya ke arahku. Dengan sigap aku mengangkat tangan sambil menggeleng dua kali, padahal aku tau pasti kalau adik sangat menyukai tape ketan. Biar saja, buat apa aku susah-susah membeli makanan itu hanya untuk menyenangkan hatinya? Lagipula aku hanya membawa uang tiga puluh ribu rupiah saja dalam dompetku.
          “ndak terimakasih” jawabku tak acuh, dan kembali fokus pada apa yang aku pikirkan. Namun rupanya ibu itu tak mengerti apa maksud dari kata-kataku, karena ia menawarkan tape ketan jualannya sekali lagi.
          “nak, ini tape ketan manis…buat buka puasa” katanya lagi. Aku kembali memandangnya, dan entah mengapa aku merasa sebal karena ibu itu tak juga mau mengerti.
          “buka puasa kok sama tape ketan, yang ada perut malah makin perih kalau belum makan nasi terlebih dulu” kata-kataku tak begitu keras, namun terdengar sangat jelas. Ibu itu menurunkan tangannya dan menaruh kembali sebungkus tape ketan dalam keranjangnya.
          “mau belanja apa nak… Buat buka puasa sama suaminya nanti ya?” aku membelalak. Suami?
          “saya belum nikah bu. Iya, ini lagi mikir mau belanja apa buat buka puasa nanti” jawabku. Aku melirik ibu itu sekali lagi, kini mataku lebih memperhatikannya dengan seksama. Tubuhnya kecil dan kurus, kulit di punggung tangannya terlihat hitam terbakar terik mentari. Jilbabnya sangat lusuh dengan banyak noda yang menempel, ibu itu memakai gamis yang sudah terlihat sangat usang, dan… Masya Allah…ia tidak memakai sandal dihari sepanas ini.
          Ibu itu kembali mengambil sebungkus tape ketan dagangannya dan melihatnya dengan tatapan sayu. Sepertinya tape ketan dalam keranjangnya itu belum ada yang terjual sama sekali. Tiba-tiba saja hatiku terenyuh, sakit sekali. Aku tadi telah berkata sangat kasar padanya.
          “em…maaf bu… apa ibu ndak memasak sesuatu untuk buka puasa dengan keluarga ibu di rumah?” tanyaku, kali ini aku berusaha agar suaraku terdengar selembut mungkin.
          “ya…kalau tape ketan ibu laku, uangnya ibu pakai buat beli beras dan sedikit lauk nak…” jawabnya, sama sekali tidak terdengar terbebani dengan apa yang ia katakan.
          “kalau… ndak laku?”
          “ya tape ketan ini jadi menu buka puasa kami” jawabnya lagi, tersenyum ringan.
Hatiku kembali miris, sakitnya seperti tertancap paku. Ya Allah… mengapa aku baru menyadari betapa kejamnya aku beberapa menit yang lalu.
          “bu..” aku memegang lengan baju ibu itu dengan lembut dan meneruskan kata-kataku, “maafkan saya ya… tadi perkataan saya pasti menyinggung hati ibu…” aku menahan air mata agar tidak menetes. Ibu itu kembali tersenyum dan berkata,
          “ndak apa-apa nak, tape ketan memang harus dimakan setelah selesai makan nasi supaya ndak sakit perut”
Air mataku jatuh, Subhanallah…bahkan ibu itu sama sekali tidak marah dengan apa yang telah aku lakukan padanya.
          “bu… sebenarnya adik saya sangat suka tape ketan ini, tapi karena saya sedang marah dengannya, saya jadi mengatakan kata-kata kasar pada ibu saat ibu menawarkan itu pada saya” ucapku terus terang. “bu, berapa harga satu bungkus tape ketan itu? Saya beli lima ya bu…” lanjutku tanpa memikirkan betapa marahnya aku pada adik. Aku hanya ingin menebus kesalahanku pada ibu penjual tape ketan itu.
         “lima nak? Alhamdulillah… Perbungkusnya dua ribu” senyuman ibu itu merekah semakin lebar, perlahan meringankan luka sayatan dalam hatiku. Aku memberinya uang sepuluh ribu dan menerima lima bungkus tape ketan itu dengan hati yang amat sangat lega. Setelah memberikan jualannya, ibu itu kemudian pergi seraya membawa keranjangnya dan kembali menawarkannya pada orang lain.
          Akhirnya aku memutuskan untuk membeli beberapa terung, bumbu-bumbu, serta tempe dan tahu untuk menu buka puasa hari ini. Ketika tiba di rumah, adik berlari untuk menemuiku dan meminta maaf, namun segala bentuk kemarahanku padanya sudah hilang tak berbekas.
          “ndak apa-apa, lain kali bilang kalau mau pulang telat. Tuh ada tape ketan, aku beli di pasar tadi” kataku.
          “wah, padahal aku sudah siap dimarahi lho!” jawabnya menggodaku, aku berusaha menahan tawa karenanya.
          “tolong bantu aku mencuci terung itu, dan keluarkan bahan-bahan yang ada dalam keresek. Eh, hati-hati di dalamnya ada uang kembalian sepuluh ribu rupiah” perintahku pada adik, seraya sibuk dengan bumbu-bumbu yang akan aku olah.
          “benar cuma sepuluh ribu?”
          “iya. Kenapa?”
          “berarti sisanya buatku dong?” jawab adik lagi. Aku mengerutkan kening, mendekati adik dan melihat dua lembar uang dua puluh ribuan dalam keresek hitam itu.
          Masya Allah… Ibu penjual sayur itu mungkin keliru melihat uang dua puluh ribu yang aku berikan padanya dengan uang lima puluh ribuan. Aku sama sekali tak menyadari hal ini. Aku tersenyum, dan berulang kali mengucap Alhamdulillah dalam hati, namun aku berjanji akan mengembalikan uang ini pada pemiliknya besok. Pasti.
______________

25-07-2012
Kisah ini aku ambil berdasarkan pengalaman nyata, semoga menjadi pelajaran bagi kita semua.
Selamat Menjalankan ibadah puasa dengan hati yang penuh keikhlasan ^_^

Oleh: Ai Lynn
Read More

Senin, 25 Juni 2012

Wanita Pertama Yang Masuk Surga


Assalamu'alaikum, wr, wb... 
 
Dan siapakah nama wanita itu? Dia adalah Muti’ah.
Kaget? Sama seperti Siti Fatimah ketika itu, yang mengira dirinyalah yang pertama kali masuk surga.
Siapakah Muti’ah? Karena rasa penasaran yang tinggi, Siti Fatimah pun mencari seorang wanita yang bernama Muti’ah ketika itu. Beliau juga ingin tahu, amal apakah yang bisa membuat wanita itu bisa masuk surga pertama kali? Setelah bertanya-tanya, akhirnya Siti Fatimah mengetahui rumah seorang wanita yang bernama Muti’ah. Kali ini ia ingin bersilaturahmi ke rumah wanita tersebut, ingin melihat lebih dekat kehidupannya. Waktu itu, Siti Fatimah berkunjung bersama dengan anaknya yang masih kecil, Hasan. Setelah mengetuk pintu, terjadilah dialog.
“Di luar, siapa?” kata Muti’ah tidak membukakan pintu.
“Saya Fatimah, putri Rasulullah”
“Oh, iya. Ada keperluan apa?”
“Saya hanya berkunjung saja”
“Anda seorang diri atau bersama dengan lainnya?”
“Saya bersama dengan anak saya, Hasan?”
“Maaf, Fatimah. Saya belum mendapatkan izin dari suami saya untuk menerima tamu laki-laki”
“Tetapi Hasan masih anak-anak”
“Walaupun anak-anak, dia lelaki juga kan? Maaf ya. Kembalilah besok, saya akan meminta izin dulu kepada suami saya”
“Baiklah” kata Fatimah dengan nada kecewa. Setelah mengucapkan salam, ia pun pergi.
Keesokan harinya, Siti Fatimah kembali berkunjung ke rumah Muti’ah. Selain mengajak Hasan, ternyata Husein (saudara kembar Hasan) merengek meminta ikut juga. Akhirnya mereka bertiga pun berkunjung juga ke rumah Muti’ah. Terjadilah dialog seperti hari kemarin.
“Suami saya sudah memberi izin bagi Hasan”
“Tetapi maaf, Muti’ah. Husein ternyata merengek meminta ikut. Jadi saya ajak juga!”
“Dia perempuan?”
“Bukan, dia lelaki”
“Wah, saya belum memintakan izin bagi Husein.”
“Tetapi dia juga masih anak-anak”
“Walaupun anak-anak, dia juga lelaki. Maaf ya. Kembalilah esok!”
“Baiklah” Kembali Siti Fatimah kecewa.
Namun rasa penasarannya demikian besar untuk mengetahui, rahasia apakah yang menyebabkan wanita yang akan dikunjunginya tersebut diperkanankan masuk surga pertama kali. Akhirnya hari esok pun tiba. Siti Fatimah dan kedua putranya kembali mengunjungi kediaman Mutiah. Karena semuanya telah diberi izin oleh suaminya, akhirnya mereka pun diperkenankan berkunjung ke rumahnya. Betapa senangnya Siti Fatimah karena inilah kesempatan bagi dirinya untuk menguak misteri wanita tersebut.
Menurut Siti Fatimah, wanita yang bernama Muti’ah sama juga seperti dirinya dan umumnya wanita. Ia melakukan shalat dan lainnya. Hampir tidak ada yang istimewa. Namun, Siti Fatimah masih penasaran juga. Hingga akhirnya ketika telah lama waktu berbincang, “rahasia” wanita itu tidak terkuak juga. Akhirnya, Muti’ah pun memberanikan diri untuk memohon izin karena ada keperluan yang harus dilakukannya.
“Maaf Fatimah, saya harus ke ladang!”
“Ada keperluan apa?”
“Saya harus mengantarkan makanan ini kepada suami saya”
“Oh, begitu”
Tidak ada yang salah dengan makanan yang dibawa Muti’ah yang disebut-sebut sebagai makanan untuk suaminya. Namun yang tidak habis pikir, ternyata Muti’ah juga membawa sebuah cambuk.
“Untuk apa cambuk ini, Muti’ah?” kata Fatimah penasaran.
“Oh, ini. Ini adalah kebiasaanku semenjak dulu”
Fatimah benar-benar penasaran. “Ceritakanlah padaku!”
“Begini, setiap hari suamiku pergi ke ladang untuk bercocok tanam. Setiap hari pula aku mengantarkan makanan untuknya. Namun disertai sebuah cambuk. Aku menanyakan apakah makanan yang aku buat ini enak atau tidak, apakah suaminya seneng atau tidak. Jika ada yang tidak enak, maka aku ikhlaskan diriku agar suamiku mengambil cambuk tersebut kemudian mencambukku. Ini aku lakukan agar suamiku ridlo dengan diriku. Dan tentu saja melihat tingkah lakuku ini, suamiku begitu tersentuh hatinya. Ia pun ridlo atas diriku. Dan aku pun ridlo atas dirinya”
“Masya Allah, hanya demi menyenangkan suami, engkau rela melakukan hal ini, Muti’ah?”
“Saya hanya memerlukan keridloannya. Karena istri yang baik adalah istri yang patuh pada suami yang baik dan sang suami ridlo kepada istrinya”
“Ya… ternyata inilah rahasia itu”
“Rahasia apa ya Fatimah?” Mutiah juga penasaran.
“Rasulullah Saw mengatakan bahwa dirimu adalah wanita yang diperkenankan masuk surga pertama kali. Ternyata semua gara-gara baktimu yang tinggi kepada seorang suami yang sholeh.”

Subhanallah.

***
Sumber: Kaskus.us
Wassalamu'alaikum, wr, wb...
Read More

Kesabaran Imam Al-Baqir


 
Assalamu'alaikum, wr, wb...
 
Seorang Nasrani bermaksud mengejek-ejek Imam Muhammad bin Ali bin Husain yang digelari orang dengan panggilan “Al-Baqir” (yang luas pentahuannya). Orang Nasrani itu berkata kepadanya:
“Engkau adalah baqar (lembu).” Maka Imam Baqir menjawab dengan penuh kelembutan:
“Bukan, tetapi saya adalah Al-Baqir.”
Orang Nasrani tersebut tidak menghiraukan jawaban itu. Selanjutnya ia berkata:
“Engkau adalah anak seorang tukang masak. Engkau adalah anak seorang wanita hitam yang mulutnya berbau busuk.” Al-Baqir menjawab:
 “Seandainya engkau benar, maka aku doakan semoga wanita itu diampuni oleh Allah, dan jika engkau bohong, maka aku doakan semoga Allah mengampunimu.”
Ternyata sikap lemah-lembut dan pemaaf yang dimiliki oleh Imam Muhammad bin Ali bin Husain itu telah menimbulkan rasa kagum pada diri orang Nasrani tersebut, sehingga akhirnya diapun bertaubat untuk tidak mengulangi lagi perangai buruknya itu dan menyatakan dirinya masuk ke dalam agama Islam.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a katanya: Sesungguhnya Rasulullah s.a.w bersabda: Kekuatan itu tidak dibuktikan dengan kemenangan yang terus menerus. Tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika sedang marah. [Bukhari & Muslim]
Innallaha Ma’ashobirin:  Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.

***
Oleh: Miftachul Arifin
 
Wassalamu'alaikum, wr, wb...
Read More

© Lintangra, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena