✿ stay simple, stay humble ✿

Jumat, 30 September 2016

Semangkuk Cinta #3


Rogojampi 2001|

             Baru kali ini aku tak sabar masuk sekolah sejak hujan pertama bulan Desember.
            Rasanya hari minggu ini lamaaa…sekali. Setelah beberapa menit senyum senyum sendiri di balik jendela kamarku yang basah oleh hujan, aku  memutuskan untuk pergi menemui Dian, untuk memastikan ia juga akan membawa “itu” ke sekolah. Meski tidak membelinya pada waktu bersamaan, tapi warna yang kami pilih sama persis, biru muda! Diam-diam aku meninggalkan kamar menuju pintu depan, sepertinya ibu sedang sibuk melakukan sesuatu di dapur.
            “buuu….aku ke rumah diaan…” teriakku sambil lalu. Tentu saja aku tak boleh mendengarkan izin ibu terlebih dahulu, bagaimana jika tidak boleh? Benar kan!
            Aku berlari keluar rumah dengan payung berstempel BRI yang biasa dipakai ibu. Ternyata payung itu jauh lebih berat dari dugaanku, sehingga mengangkatnya saja sudah sangat sulit. Samar-samar aku mendengar teriakan ibu dari jauh “Lin hujaaaan!” tapi sudahlah.
            “heii banguuun!” aku mengguncang tubuh Dian kuat-kuat untuk membangunkannya. Aku tahu sekarang ini memang waktunya tidur siang, tapi aku benar-benar harus memastikannya. Dian menggeliat, raut wajahnya mengatakan Pergi sana! ke arahku. Aku tak peduli.
            “Apa?!” lirihnya.
            “besok kamu bawa ituu kan? Harus! Besok pasti hujan sepulang sekolah” kataku sumringah.
            “hmm…” Dian mengganggukkan kepalanya satu kali.
            “Janji?”
            “Janji” kita melakukan janji kelingking.
            “terus?”
            “apanya?”
            “terus apa lagi yang ingin kamu bicarakan?”
            “sudah cuma itu” aku mengedikkan bahu. Ia memandangku tak percaya dan masih dengan wajah jengkelnya ketika kembali berbaring. Memang cuma itu yang ingin aku sampaikan, tapi aku tak ingin segera pulang mengingat betapa susahnya perjuanganku berlari dengan payung super besar di atasku. Jadi kuputuskan untuk tidur disampingnya siang itu.

            “Lin, dian, mana payungmu?” Tanya Sofia pada jam istirahat. Aku dan Dian saling melirik satu sama lain. Kami sudah memutuskan untuk memberi tahu Sofia rahasia kita.
            “Aku tidak membawa payung, Dian juga. Kita membawa jas hujan!” bisikku. Dian mengangguk bersemangat mengiyakan. Seperti yang kuduga, Sofia langsung memperlihatkan mimik kagumnya ke arah kami.
            “mana? Mana? Aku mau lihaaat”
            “sudahlah, nanti juga tahu” sahut Dian. Aku meliriknya kesal. Padahal aku sudah bersiap-siap membuka tasku untuk menunjukkannya pada Sofia.

            Akhirnya bel pulang sekolah terdengar juga. Teman-teman sekelas mulai berhamburan ricuh karena hujan siang itu terlalu deras untuk diterjang oleh para lelaki, seperti anak kecil saja, pikirku. Mereka yang membawa payung juga ikut-ikutan ricuh karena payung saja tak cukup melindungi mereka dari angin yang menerbangkan hujan. Aku mengeluarkan jas hujan biru muda dari dalam tas dan mulai memakainya, Dian juga melakukan hal yang sama. Aku merasakan suasana mulai hening dan semua anak memandang ke arah kami. Mungkin karena kami yang pertama kali punya jas hujan kecil seperti ini di kelas.
            Jas hujan kami berwarna biru muda dengan model yang sama persis, atasan baju lengan selutut dengan hoodie pelindung kepala dan bawahan celana panjang. Hanya gambar pada jas hujan itulah yang membedakannya. Kami memakainya secepat kilat hingga melupakan satu hal, bagaimana dengan tas kami?
            “bagaimana caramu memakai tas?” celetukku pada Dian. Ia memandangku dengan pandangan yang sama.
            “coba kita pakai dulu tasnya lalu kita pakai jas hujannya” jawabnya. Kami mencobanya. Tiba-tiba segerombolan anak lelaki terbahak sambil berteriak ke arah kami.
            “hei, ada orang bungkuk! hahahahaa”
            Wajah kami memerah karena malu, benar juga... kami jadi terlihat seperti orang bungkuk. Lagi pula ternyata jas hujan ini sama sekali tidak melindungi sepatu kami. Aku cepat-cepat menanggalkan jas hujan yang sudah dua kali kupakai itu kemudian berpikir keras.
            “bagaimana kalau kita bungkus tas dan sepatu kita dengan jas hujan ini? tak masalah baju kita basah, nanti kan bisa dijemur? Tapi kalau sepatu dan tas lama sekali keringnya” jelasku pada dian panjang lebar. Dian sepertinya setuju dengan ide cemerlangku dan perlahan membuka jas hujannya. Kami membuka sepatu dan kaos kaki lalu membungkusnya dengan atasan jas hujan bersamaan dengan tas. Setelah rapi terbungkus, kami mulai bersiap-siap keluar kelas.
            “kalian ini sedang apa?” Tanya Sofia yang dari tadi memperhatikan kami dengan raut keheranan di wajahnya. Kami tersenyum bersamaan.
            “maaf sof, kami tak bisa pulang denganmu karena kami harus lari secepat kilat sambil membawa ini” kata Dian seraya menunjuk bungkusan yang mirip kantong sampah berwarna biru. Aku mengangguk. Sofia hanya mengedikkan bahunya seakan berkata “terserah” dalam hati.

            Aku berlari sekuat tenaga bersama Dian menerjang hujan yang sepertinya tak mau mengalah sama sekali. Karena tas dan sepatu kami lumayan berat, kami menyeretnya sepanjang jalan menuju rumah. Rasanya menyenangkan sekali. Entah mengapa aku merasa puas karena jas hujan ini bisa melindungi tas dan sepatuku dengan sempurna meskipun kami harus berkorban basah kuyub demi itu.
            Akhirnya kami berpisah dipersimpangan jalan, masih dengan tawa penuh kemenangan. Dengan polosnya aku membuka pintu rumah dan menerobos masuk menuju dapur. Seantero ruangan jadi bau tanah dan basah oleh air yang menetes dari sekujur tubuhku. Setelah melemparkan bungkusan tas dan sepatu, aku langsung ke kamar mandi untuk berbilas sebelum kemudian ibu muncul dari dalam kamar dengan suara seperti tercekik.
            “Masya Allah nak… kok bisa basah semua to nduk…” aku meringis tanpa dosa dan menjelaskan apa yang baru saja aku lakukan.
            “Ya Allah… coba lihat ini!” ibu mengambil jas hujan yang membungkus tas dan sepatuku dan melebarkannya agar aku bisa melihat dengan jelas. Seketika itu juga rasa puas dan bangga dalam dadaku menguap begitu saja ketika melihat jas hujanku dalam kondisi sangat kritis. Terdapat lubang dan sobekan dimana-mana dan kotornya……minta ampun.
            “kalau sudah seperti ini tak mungkin bisa kamu pakai lagi” ujar ibu, nadanya terdengar sedih. Setelah itu aku hanya bisa meratapi jas hujan biru muda yang baru saja aku pakai hari ini sambil terisak keras. Ibu tak henti-hentinya mengatakan “sudahlah, kita beli yang baru dengan kesepakatan tak boleh memakainya untuk membungkus apapun lagi”. Tapi aku menolaknya. Tidak jas hujan lagi.

            Esoknya di sekolah. Kulihat raut wajah Dian sama muramnya denganku, aku tak tahu apakan nasib jas hujannya sama seperti jas hujanku atau malah lebih parah. Aku tak mau bertanya, karena sejak itu kami memutuskan untuk tidak membahas apapun yang berhubungan dengan jas hujan.
            “Lin, Dian, coba lihat jas hujan baruku!” kata beberapa anak di kelas seusai sekolah. Mereka mengeluarkan setelan jas hujan seperti punya kami dengan warna-warna yang kekanakan, menurutku. “Keluarkan jas hujan kalian, kita pulang sama-sama yuk!”
            “percuma pakai jas hujan, yang penting kan kepala kita terlindungi dari hujan” kata Dian seraya berjalan keluar kelas dengan payung kecil seukurannya.
            Aku menahan air mata sekuat tenaga sambil membuka payung BRI milik ibu yang kebesaran lalu berlari pulang menuju rumah.
____________________________________

0 komentar:

Posting Komentar

© Lintangra, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena