Rogojampi, 2004 |
“Assalamu’alaikuuuum…”
teriakku ketika masuk kelas dengan menenteng sekeresek besar
bungkusan-bungkusan susu kedelai di tangan kananku.
“Wa’alaikum salam!” Sontak sebagian penghuni kelas
mengerumuniku. Dengan santainya aku meletakkan keresek itu di atas bangkuku dan
membiarkan teman-teman mengambil pesanan mereka. Satu persatu mereka menyodorkan
uang receh lima ratus rupiah ke arahku yang langsung aku masukkan ke dalam
saku. Tak beberapa lama bel masuk berbunyi.
“sayang
nggak bisa diminum sekarang, sudah masuk” bisik Dian, teman sebangkuku. Aku
senang melihat wajah kecewanya ketika memasukkan bungkusan susu kedelai ke laci
bawah bangku.
“sst…kita
minum diam-diam saja selagi pak guru menjelaskan!” balasku berbisik. Kami
berdua terkikik bersamaan, namun memutuskan untuk meletakkannya kembali dalam
laci.
“ini
bu, lima ribu” aku memberikan uang receh kepada ibu.
“lho?
Kan tadi ibu bawakan dua belas bungkus?”
“yang
dua aku minum sendiri” jawabku tanpa dosa.
“kan
Lin sudah bawa satu untuk diminum? Jadi totalnya tiga belas bungkus”
“ah…berarti
aku minum tiga bu! Hehehe”
Ibu
hanya tertawa menggelengkan kepalanya seraya meletakkan uang receh itu ke dalam
gelas plastik di atas kulkas. Aku meminta gelas itu, menumpahkan isinya ke
lantai dan mulai menghitung hasil yang kami peroleh hari ini. Semakin bertambah
dari hari pertama kami menjualnya.
Ibu
juga menambah bahan kedelai lebih banyak dan hampir tiap malam aku menemani ibu
membungkus susu kedelai, terkadang aku dan adik mengerjakan PR disamping ibu
yang tengah serius membungkus atau membantunya mengaduk-aduk susu kedelai dalam
panci di atas kompor. Ibu memberikan perasa buah-buahan pada susu kedelai yang
sudah akan dibungkusnya. Aku dan adik mendapat kesempatan memilihkan rasa-rasa
itu dan selalu berharap ada sisa di baskom yang terlalu sedikit untuk ikut
dibungkus.
Ibu… Ibu yang tak pernah berhenti tersenyum meski
harus semalaman mengerjakan itu setelah seharian membereskan pekerjaan rumah
dan memasakkan makanan untuk kami bertiga setiap hari…
|| Rogojampi, 1999 ||
“lho?
Kok ibu ikut mengantar juga?” lirihan pelan yang kutujukan pada ayah rupanya
terdengar juga oleh ibu.
“ibu
kan juga ingin melambaikan tangan ketika Lin masuk ke dalam sekolah” bisik ibu
di dekat telingaku. Aku hanya menunduk.
Sehari
sebelumnya Shinta pernah berkata padaku dan teman-teman yang lain. Bahwa anak
yang diantar sekolah oleh ibunya itu adalah anak manja dan dia tidak mau
berteman dengan anak manja. Ada diantara teman-temanku yang ikut mendengarkan
menangis seketika karena ibunya tak hanya mengantar, tapi bahkan menunggunya
hingga sekolah usai. Bagaimana jika Shinta tak mau berteman denganku lagi?
“sudah
yaah….sampai sini saja!”
“kenapa?”
meski keheranan ayah tetap menghentikan motor di depan masjid yang hanya
berjarak beberapa meter dari sekolahku, Aisyah Bustanul Atfal. Seketika aku
bergegas turun dari motor. Ibu yang duduk di belakang ayah sambil menggendong
adik, menghentikan langkahku.
“kenapa
to nduk?”
Entah
mengapa tiba-tiba saja aku ingin sekali menangis. Namun aku berhasil
mencegahnya dengan berteriak kepada ibu.
“Lin
malu kalau ibu ikut mengantar!” aku berlari ke arah gerbang sekolah tanpa
berpamitan dan tanpa melihat ke belakang lagi. Langkah kakiku yang pendek
membuat gerbang terasa sangat jauh. Aku tahu ibu masih memandangiku di depan
masjid dengan pandangan sedih.
Sejak
awal ibu memang tak pernah mengantarku apalagi menungguiku di sekolah. Hanya
pada saat pertama kali aku masuk sekolah, karena ibu harus merawat adik yang masih
berumur kurang dari dua tahun. Kakiku berhenti berlari. Kutangkupkan kedua
telapak tangan ke wajahku dan menangis. Aku ingin melihat ke belakang sekali
lagi. Apa ibu masih berdiri disana? Apa ibu juga menangis sama sepertiku? Apa
ibu masih ingin melambaikan tangan padaku seingin aku melambaikan tangan
padanya? Tapi aku tak pernah tahu.
0 komentar:
Posting Komentar