Terdengar derap langkah-langkah cepat mendekatiku. Aku berpaling ke arah derap langkah itu. Kulihat sosok yang sudah sangat aku kenal. Itu Aufa, sahabatku. Nafasnya terengah-engah ketika sudah berada di dekatku. Keringat membasahi dahinya. Dengan rambut acak-acakan dia memandangku gelisah seraya mencengkram erat bagian depan kerudung sekolahku.
“Lynn! Cindy kecelakaan!” air mata Aufa mulai merebak. Aku hanya terpaku mendengar cerita itu sesaat sebelum Aufa menarik lengan bajuku ke tempat parkir.
“Kamar nomor berapa sus?” tanya Aufa tergesa-gesa. Setelah perawat itu memberitahu kami dimana Cindy dirawat, Aufa kembali menarik lengan bajuku untuk berjalan cepat mengikutinya. Aku tak mengerti pikiran apa yang berkecamuk dibenakku hingga aku tak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Yang aku tahu adalah Cindy tengah diantar pulang oleh Reihan dan…“Gimana ceritanya sih Cin? Bikin kaget kita aja! Gimana keadaan kamu sekarang?” tanpa sadar aku telah berada di ruangan yang kami tuju. Aku mengamati Cindy yang terbujur di atas tempat tidur dengan satu tangan dibalut perban dan ada beberapa luka di kening dan dagunya. Dia menangis memandangku dan Aufa. Kemudian mulai berbicara,
“Aku tak apa… hanya luka ringan biasa. Tapi…Rei…” Kata-katanya tersendat seakan ada batu besar di dalam tenggorokannya. Katika nama Rei itu disebut, jantungku mulai berdetak tak beraturan.
“Rei? Kamu ngomong apa sih? Kenapa dengan Rei?” Aufa masih tak mengerti apa yang sedang dibicarakan Cindy.
“Aku tengah bersamanya menaiki sepeda motor ketika kemudian… Seorang pria mabuk mengendarai mobil menabrak kami. Dan… dan…” Kata Cindy terbata-bata karena kini dia tak mampu lagi menahan air matanya yg terus mengalir.
Tubuhku mati rasa. Kaki-kakiku tak mampu lagi menopang berat badanku. Seketika
kusandarkan tubuhku ke dinding dekat dengan tempat tidur Cindy. “Dan apa?” tanyaku lemas, berharap semua dugaanku tentang dia salah.
“dia… dia… meninggal…” jawab Cindy lirih. Dia mendekap mulutnya dengan satu tangan. Aufa menjerit. Dan kemudian semuanya menjadi gelap.
***
“hei! Tadi malam ngobrol apa aja sama si Rei?” tanya Aufa menggodaku. Aku menyunggingkan senyum.
“dia cuma mau ngembaliin bukuku kok. Ga da yang perlu dibicarakan.” Jawabku ringan. Sebenarnya aku masih memikirkan kunjungan Rei ke rumahku kemarin malam. Belum pernah ada laki-laki yang berkunjung ke rumah sebelumnya.
“buku? Dia pinjem buku apa sih?”
“Berguru Kepada Allah – Abu Sangkan”
“waw! Ga nyangka hobi dia sama kayak kamu” cengirnya. Aku tersenyum lagi mendengar ocehan Aufa.
Reihan Lazuardi, laki-laki yang sudah lama aku perhatikan sejak masuk SMA ini. Entah apa yang membuatku menyukainya, namun yang jelas dia punya kepribadian yang membuatku tertarik padanya. Aku akui dia sopan, supel, pintar dan sepertinya alim juga (karena aku sering menemuinya di mushola sekolah). Tak heran dia sangat populer di Sekolah ini.
Namun tak pernah satu kalipun aku berfikir untuk memilikinya ataupun ingin dia tahu tentang perasaanku, karena aku tak mau terikat hubungan dengannya. Kami menjadi teman sejak sepuluh bulan yang lalu saat kami berada di ruang bimbingan yang sama. Sejak itu kami jadi sering berbicara masalah pelajaran dan buku – buku yang menarik untuk dibaca, karena kebetulan kami punya hobby yang sama. Namun aku cukup pintar menyembunyikan perasaan aneh ini sendiri tanpa disadari Aufa.
“Lynn, mau ga anterin aku ke rumah sakit umum pulang sekolah nanti?” tanya Aufa “nenekku dirawat disana dua hari lalu n aku belum jenguk nenek sampe sekarang. Mau ya?” lanjutnya lagi. Sejenak aku mempertimbangkan ajakannya.
“tapi hari ni aku ada bimbingan” jawabku bimbang.
“please?? Untuk hari ini….aja?” aku hanya diam saja. Ga ada salahnya ga ikut bimbingan satu kali. Tapi hari ni aku ada try out fisika di bimbingan nanti...
“apa kamu ga bisa ajak Cindy aja Fa? Aku ada try out hari ni”
“yaah… Lynn… Cindy ga bisa hari ni, dia mau belanja sama Maminya. Please?? Kamu kan bisa ikut try out susulan? Aku mohon…..” akhirnya aku menganguk mengiyakan. “thanks!” senyum Aufa kembali merekah.
“You’re welcome”
Esoknya.
“Lynn!” teriak sesorang. Aku mencari sumber suara yang memanggil namaku. Itu Rei. Reflek aku membetulkan kerudungku begitu dia mendekat ke arahku.
“apa?” tanyaku. Dia tampak sangat berantakan siang ini. Dia mengambil nafas sejenak sebelum mulai berbicara.
“kamu ga ikut try out bimbingan kemarin kan? Bu Evi memanggil kita berdua untuk try out susulan sekarang di Lab.Fisika” jelasnya.
“kita? Kamu juga ga ikut?” tanyaku.
“ya… aku harus ngantar Bunda belanja kemaren…” dia tersenyum. Setelah dia mengakhiri pembicaraannya, aku mengangguk dan berjalan mendahuluinya ke Laboraturium Fisika. Rei berjalan di belakangku.
“ngomong-ngomong apa alasanmu ga ikut try out kemaren?” aku agak terperanjat mendengar pertanyaan dari Rei. Tanpa berpaling ke belakang aku menjawab.
“nganterin temen” jawabku singkat.
“oya, buku yang kemaren keren lho! Beli dimana?”
“hadiah dari Cindy, sahabatku” sedetik setelah itu aku tak mendengar derap langkah yang sejak tadi mengikutiku dari belakang. Dan aku berpaling. Aku melihat Rei diam saja di tempatnya berdiri sambil mengerutkan keningnya dengan ekspresi yang ga jelas. Aku juga mengerutkan kening melihatnya. “try out di mulai dua menit lagi” kataku sambil lalu. Aku tersenyum dalam hati.
“Lynn, Aufa. Kamu tau Reihan sebelas ipa satu?” tanya Cindy saat kami bertiga ada di perpus pada istirahat kedua. Aufa memutar bola matanya.
“Cin, sapa sih yang ga kenal cowok populer kayak dia?” Aufa menjawab dengan setengah berbisik.
“sorii… abis selama ini aku ga pernah memperhatiin cowok sih…” kata Cindy nyengir.
“o… jadi sekarang kamu suka Reihan ya?” tanya Aufa jelas.
“yeah. I’m falling in love for the first time. Hehee… Aku kenal dia kemaren di mall waktu belanja sama Mami. Dia ga sengaja nabrak belanjaan mami trus… kami kenalan” jelas Cindy panjang lebar. “tolong donk bantuin aku ketemu sama dia lagi?” pinta Cindy.
“Tanya Lynn tuh, dia satu ruang sama Rei di kelas bimbingan Fisika” kata Aufa. Aku yang sejak tadi hanya mendengarkan percakapan mereka setengah-setengah hanya bisa memandang mereka dengan tatapan bingung ketika namaku disebut.
“apa?” tanyaku kemudian.
“bantu aku ketemuan sama Rei ya?”
“oke. Kapan?”
“Nanti” Cindy mengakhiri pembicaraan tepat ketika bel masuk berbunyi. Dan bicara soal hatiku, kurasa aku harus berhenti mencintai Reihan mulai saat ini.
***
“Lynn! Bangun….” Sayup-sayup aku mendengar suara Aufa ditelingaku. Rasanya mataku terlalu berat untuk terbuka. Bayangan-bayangan aneh memenuhi otakku. Aku melihat Reihan tersenyum padaku sambil melambaikan tangan dan aku membalasnya. Kemudian dia pergi mendatangi Cindy dan menciumnya…
“LYNN!!” suara memekakkan telinga itu membuat bayangan dalam kepalaku hilang. Ruangan putih mengelilingiku ketika aku membuka mata. “kamu kenapa sih?” aku mendengar suara Aufa di samping kananku dan melihatnya duduk di tempatku berbaring dengan pandangan cemas.
“dimana ini?” tanyaku pelan. Kepalaku terasa berdenyut menyakitkan.
“ya masih di Rumah Sakit. Aku cemas banget tiba-tiba kamu pingsan setelah mendengar cerita Cindy. Ada apa Lynn? Kenapa kamu ga cerita ke aku tentang masalahmu?” Aufa membombardirku dengan pertanyaan yang membuat kepalaku semakin sakit.
Aku merasakan sesuatu yang hangat mengalir dipipiku. Bukan kepalaku yang berdenyut nyeri, tapi hatiku. Apa aku harus berterus terang pada Aufa apa sebenarnya yang mengganggu pikiranku? Atau aku harus beralasan lain agar tak melukai perasaan Cindy? Aku mencoba membuka mulutku yang terasa kering.
“aku…mencintai Reihan…” kataku akhirnya. Aku sudah mengatakannya… Aku bisa melihat dari balik air mataku, mata Aufa berkaca-kaca memandangku. Mulutnya terkatup rapat. Kemudian rasa sakit itu kembali menderaku. Aku tak mengerti dari mana asal rasa sakit itu.
Sedetik kemudian Aufa menangis memelukku. “…sudah hampir dua tahun yang lalu… Meski aku tak ingin Reihan tahu tentang perasaanku, aku sangat mencintainya Fa…” aku melanjutkan kata-kataku dan membalas pelukan Aufa yang semakin erat. Aufa membisikkan sesuatu ketelingaku.
“kenapa kamu ga pernah bilang sama aku tentang perasaanmu dari dulu Lynn?” air mata masih membasahi pipinya dan dia melepaskan pelukkannya perlahan dariku. “Reihan mencintaimu sejak hampir dua tahun yang lalu…” sambungnya. “dia hanya memberitahuku tentang perasaannya. Tak pernah terpikir olehku dan Rei bahwa kamu juga mencintainya. Bahkan Cindy tahu itu. Dia terlalu takut sakit hati jika dia mengungkapkan perasaannya pada perempuan yang dia pikir tidak mencintainya sama sekali. Dia sangat mencintaimu Lynn…” lanjutnya. Suara Aufa tenggelam oleh tangisan.
Aku memejamkan mata dan mencengkeram erat ulu hatiku, karena sakitnya sungguh membuatku tersiksa.
By : Lyntang Reztu Andrawyna
“Lynn! Cindy kecelakaan!” air mata Aufa mulai merebak. Aku hanya terpaku mendengar cerita itu sesaat sebelum Aufa menarik lengan bajuku ke tempat parkir.
“Kamar nomor berapa sus?” tanya Aufa tergesa-gesa. Setelah perawat itu memberitahu kami dimana Cindy dirawat, Aufa kembali menarik lengan bajuku untuk berjalan cepat mengikutinya. Aku tak mengerti pikiran apa yang berkecamuk dibenakku hingga aku tak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Yang aku tahu adalah Cindy tengah diantar pulang oleh Reihan dan…“Gimana ceritanya sih Cin? Bikin kaget kita aja! Gimana keadaan kamu sekarang?” tanpa sadar aku telah berada di ruangan yang kami tuju. Aku mengamati Cindy yang terbujur di atas tempat tidur dengan satu tangan dibalut perban dan ada beberapa luka di kening dan dagunya. Dia menangis memandangku dan Aufa. Kemudian mulai berbicara,
“Aku tak apa… hanya luka ringan biasa. Tapi…Rei…” Kata-katanya tersendat seakan ada batu besar di dalam tenggorokannya. Katika nama Rei itu disebut, jantungku mulai berdetak tak beraturan.
“Rei? Kamu ngomong apa sih? Kenapa dengan Rei?” Aufa masih tak mengerti apa yang sedang dibicarakan Cindy.
“Aku tengah bersamanya menaiki sepeda motor ketika kemudian… Seorang pria mabuk mengendarai mobil menabrak kami. Dan… dan…” Kata Cindy terbata-bata karena kini dia tak mampu lagi menahan air matanya yg terus mengalir.
Tubuhku mati rasa. Kaki-kakiku tak mampu lagi menopang berat badanku. Seketika
kusandarkan tubuhku ke dinding dekat dengan tempat tidur Cindy. “Dan apa?” tanyaku lemas, berharap semua dugaanku tentang dia salah.
“dia… dia… meninggal…” jawab Cindy lirih. Dia mendekap mulutnya dengan satu tangan. Aufa menjerit. Dan kemudian semuanya menjadi gelap.
***
“hei! Tadi malam ngobrol apa aja sama si Rei?” tanya Aufa menggodaku. Aku menyunggingkan senyum.
“dia cuma mau ngembaliin bukuku kok. Ga da yang perlu dibicarakan.” Jawabku ringan. Sebenarnya aku masih memikirkan kunjungan Rei ke rumahku kemarin malam. Belum pernah ada laki-laki yang berkunjung ke rumah sebelumnya.
“buku? Dia pinjem buku apa sih?”
“Berguru Kepada Allah – Abu Sangkan”
“waw! Ga nyangka hobi dia sama kayak kamu” cengirnya. Aku tersenyum lagi mendengar ocehan Aufa.
Reihan Lazuardi, laki-laki yang sudah lama aku perhatikan sejak masuk SMA ini. Entah apa yang membuatku menyukainya, namun yang jelas dia punya kepribadian yang membuatku tertarik padanya. Aku akui dia sopan, supel, pintar dan sepertinya alim juga (karena aku sering menemuinya di mushola sekolah). Tak heran dia sangat populer di Sekolah ini.
Namun tak pernah satu kalipun aku berfikir untuk memilikinya ataupun ingin dia tahu tentang perasaanku, karena aku tak mau terikat hubungan dengannya. Kami menjadi teman sejak sepuluh bulan yang lalu saat kami berada di ruang bimbingan yang sama. Sejak itu kami jadi sering berbicara masalah pelajaran dan buku – buku yang menarik untuk dibaca, karena kebetulan kami punya hobby yang sama. Namun aku cukup pintar menyembunyikan perasaan aneh ini sendiri tanpa disadari Aufa.
“Lynn, mau ga anterin aku ke rumah sakit umum pulang sekolah nanti?” tanya Aufa “nenekku dirawat disana dua hari lalu n aku belum jenguk nenek sampe sekarang. Mau ya?” lanjutnya lagi. Sejenak aku mempertimbangkan ajakannya.
“tapi hari ni aku ada bimbingan” jawabku bimbang.
“please?? Untuk hari ini….aja?” aku hanya diam saja. Ga ada salahnya ga ikut bimbingan satu kali. Tapi hari ni aku ada try out fisika di bimbingan nanti...
“apa kamu ga bisa ajak Cindy aja Fa? Aku ada try out hari ni”
“yaah… Lynn… Cindy ga bisa hari ni, dia mau belanja sama Maminya. Please?? Kamu kan bisa ikut try out susulan? Aku mohon…..” akhirnya aku menganguk mengiyakan. “thanks!” senyum Aufa kembali merekah.
“You’re welcome”
Esoknya.
“Lynn!” teriak sesorang. Aku mencari sumber suara yang memanggil namaku. Itu Rei. Reflek aku membetulkan kerudungku begitu dia mendekat ke arahku.
“apa?” tanyaku. Dia tampak sangat berantakan siang ini. Dia mengambil nafas sejenak sebelum mulai berbicara.
“kamu ga ikut try out bimbingan kemarin kan? Bu Evi memanggil kita berdua untuk try out susulan sekarang di Lab.Fisika” jelasnya.
“kita? Kamu juga ga ikut?” tanyaku.
“ya… aku harus ngantar Bunda belanja kemaren…” dia tersenyum. Setelah dia mengakhiri pembicaraannya, aku mengangguk dan berjalan mendahuluinya ke Laboraturium Fisika. Rei berjalan di belakangku.
“ngomong-ngomong apa alasanmu ga ikut try out kemaren?” aku agak terperanjat mendengar pertanyaan dari Rei. Tanpa berpaling ke belakang aku menjawab.
“nganterin temen” jawabku singkat.
“oya, buku yang kemaren keren lho! Beli dimana?”
“hadiah dari Cindy, sahabatku” sedetik setelah itu aku tak mendengar derap langkah yang sejak tadi mengikutiku dari belakang. Dan aku berpaling. Aku melihat Rei diam saja di tempatnya berdiri sambil mengerutkan keningnya dengan ekspresi yang ga jelas. Aku juga mengerutkan kening melihatnya. “try out di mulai dua menit lagi” kataku sambil lalu. Aku tersenyum dalam hati.
“Lynn, Aufa. Kamu tau Reihan sebelas ipa satu?” tanya Cindy saat kami bertiga ada di perpus pada istirahat kedua. Aufa memutar bola matanya.
“Cin, sapa sih yang ga kenal cowok populer kayak dia?” Aufa menjawab dengan setengah berbisik.
“sorii… abis selama ini aku ga pernah memperhatiin cowok sih…” kata Cindy nyengir.
“o… jadi sekarang kamu suka Reihan ya?” tanya Aufa jelas.
“yeah. I’m falling in love for the first time. Hehee… Aku kenal dia kemaren di mall waktu belanja sama Mami. Dia ga sengaja nabrak belanjaan mami trus… kami kenalan” jelas Cindy panjang lebar. “tolong donk bantuin aku ketemu sama dia lagi?” pinta Cindy.
“Tanya Lynn tuh, dia satu ruang sama Rei di kelas bimbingan Fisika” kata Aufa. Aku yang sejak tadi hanya mendengarkan percakapan mereka setengah-setengah hanya bisa memandang mereka dengan tatapan bingung ketika namaku disebut.
“apa?” tanyaku kemudian.
“bantu aku ketemuan sama Rei ya?”
“oke. Kapan?”
“Nanti” Cindy mengakhiri pembicaraan tepat ketika bel masuk berbunyi. Dan bicara soal hatiku, kurasa aku harus berhenti mencintai Reihan mulai saat ini.
***
“Lynn! Bangun….” Sayup-sayup aku mendengar suara Aufa ditelingaku. Rasanya mataku terlalu berat untuk terbuka. Bayangan-bayangan aneh memenuhi otakku. Aku melihat Reihan tersenyum padaku sambil melambaikan tangan dan aku membalasnya. Kemudian dia pergi mendatangi Cindy dan menciumnya…
“LYNN!!” suara memekakkan telinga itu membuat bayangan dalam kepalaku hilang. Ruangan putih mengelilingiku ketika aku membuka mata. “kamu kenapa sih?” aku mendengar suara Aufa di samping kananku dan melihatnya duduk di tempatku berbaring dengan pandangan cemas.
“dimana ini?” tanyaku pelan. Kepalaku terasa berdenyut menyakitkan.
“ya masih di Rumah Sakit. Aku cemas banget tiba-tiba kamu pingsan setelah mendengar cerita Cindy. Ada apa Lynn? Kenapa kamu ga cerita ke aku tentang masalahmu?” Aufa membombardirku dengan pertanyaan yang membuat kepalaku semakin sakit.
Aku merasakan sesuatu yang hangat mengalir dipipiku. Bukan kepalaku yang berdenyut nyeri, tapi hatiku. Apa aku harus berterus terang pada Aufa apa sebenarnya yang mengganggu pikiranku? Atau aku harus beralasan lain agar tak melukai perasaan Cindy? Aku mencoba membuka mulutku yang terasa kering.
“aku…mencintai Reihan…” kataku akhirnya. Aku sudah mengatakannya… Aku bisa melihat dari balik air mataku, mata Aufa berkaca-kaca memandangku. Mulutnya terkatup rapat. Kemudian rasa sakit itu kembali menderaku. Aku tak mengerti dari mana asal rasa sakit itu.
Sedetik kemudian Aufa menangis memelukku. “…sudah hampir dua tahun yang lalu… Meski aku tak ingin Reihan tahu tentang perasaanku, aku sangat mencintainya Fa…” aku melanjutkan kata-kataku dan membalas pelukan Aufa yang semakin erat. Aufa membisikkan sesuatu ketelingaku.
“kenapa kamu ga pernah bilang sama aku tentang perasaanmu dari dulu Lynn?” air mata masih membasahi pipinya dan dia melepaskan pelukkannya perlahan dariku. “Reihan mencintaimu sejak hampir dua tahun yang lalu…” sambungnya. “dia hanya memberitahuku tentang perasaannya. Tak pernah terpikir olehku dan Rei bahwa kamu juga mencintainya. Bahkan Cindy tahu itu. Dia terlalu takut sakit hati jika dia mengungkapkan perasaannya pada perempuan yang dia pikir tidak mencintainya sama sekali. Dia sangat mencintaimu Lynn…” lanjutnya. Suara Aufa tenggelam oleh tangisan.
Aku memejamkan mata dan mencengkeram erat ulu hatiku, karena sakitnya sungguh membuatku tersiksa.
By : Lyntang Reztu Andrawyna
0 komentar:
Posting Komentar