✿ stay simple, stay humble ✿

Sabtu, 10 Desember 2011

Story about love (3)


            “kenapa kau terus saja menghindariku!” bentak Vic mencengkeram erat pergelangan tanganku. Aku berusaha melepaskannya, namun sia-sia, aku tak cukup kuat untuk itu.
            “aku harus pulang” kataku datar, Vic mempererat pegangannya hingga pergelangan tanganku terasa nyeri. “ada apa sih!” balasku akhirnya.
            “aku yang harusnya bertanya itu!” jawabnya gusar. “ada apa denganmu? Kenapa kau selalu menghindar saat bertemu aku? Aku berusaha menghubungimu, tapi ponselmu tidak aktif, aku nekat pergi ke rumahmu, tapi kau bahkan tak mau menemuiku, kau tahu, lama-lama aku bisa muak!”
            Aku menatapnya dengan air mata yang telah antri hendak keluar dari pelupuknya, tidak bisakah dia bicara sedikit halus padaku? Tidakkah dia mengerti betapa aku terluka karena kata-katanya itu? Mengapa dia selalu menyalahkan aku tanpa berfikir tentang kesalahannya terlebih dulu? Ada banyak hal diotakku yang ingin kutanyakan padanya, namun
aku takut tak mampu menyusun kalimatku dengan baik.
            “kau membenciku?” Tanyaku akhirnya. Mata Vic melebar ketika mendengar pertanyaanku.
            “apa maksudmu?”
            “apa kau membenciku?” ulangku tak sabar. Vic menatap tajam mataku, sebelum menjawab.
            “ya! Aku benci kau yang seperti ini!”
            Aku menengadahkan kepalaku, masih berusaha menahan air mataku agar tidak menetes. Pegangan tangannya mulai mengendur, tapi aku tak mampu merasakan apapun sekarang ini, kulitku seakan mati rasa.
            “aku melihatmu, berpelukan dengan Nia di parkiran tiga hari yang lalu” ungkapku jelas. Aku lelah terus-terusan menahan diri untuk tidak membuatnya marah, tapi kali ini, bukankah aku yang seharusnya marah padanya? Aku membenci diriku sendiri yang tidak mampu membencinya sama sekali.
            “itu…” lirihnya tak jelas, melepaskan cengkramannya dariku.
            “kenapa kau begitu tega…” lanjutku. “kalau kau membenciku, lakukan saja, tapi jangan melakukan hal seperti itu…” aku terisak sekarang, bodoh.
            “Lin, aku…”
            “aku harus bagaimana sekarang? Apa yang bisa aku lakukan untuk membela diriku sendiri? Aku tak tahu harus bersikap bagaimana di depanmu, oleh sebab itu aku terus saja menghindarimu. Tapi kenapa, kau bahkan tak bisa memahamiku sama sekali…”
            Vic memegang pundaku dengan satu tangan, ekspresinya berubah sedikit lembut.  Kemudian menghapus air mataku dengan tangan yang lain, namun aku menepisnya.
            “jelaskan padaku, apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku sesenggukan.
            “ini tak seperti yang kau pikirkan...” jawabnya pelan. “aku hanya simpati pada Nia yang mempunyai masalah serius dengan keluarganya, kau tahu Nia sahabat baikku, aku hanya berusaha menenangkan pikirannya”
            “lalu aku? Apa kau kira selama ini aku baik-baik saja dengan keluargaku?” tanyaku geram.
            “kau terlalu banyak mengeluh, hingga aku sendiri merasa tertekan dengan semua masalah-masalahmu yang selalu kau keluhkan padaku” nada bicara Vic meninggi, aku tersentak.
            “kau tertekan karena masalahku, tapi dengan senang hati kau menerima apa yang dikeluhkan Nia padamu?” ungkapku tak percaya, seluruh tubuhku gemetar.
            Apa yang aku lakukan ini berlebihan? Apa terlihat konyol jika aku cemburu karena kelakuannya ini?
            “baiklah aku minta maaf” jawabnya ringan. Aku ingin sekali menghantamkan tinjuku melihat ekspresinya yang tak merasa berdosa sama sekali, namun aku akan semakin terlihat bodoh nanti. Jangankan meninjunya, mendorongnya sekuat tenaga saja belum tentu berhasil.
            “sudahlah, aku lelah” kataku akhirnya. Selalu saja... aku tak bisa tegas dengan keputusan yang akan kuambil. Yang aku inginkan sekarang adalah berlari sejauh mungkin darinya.
            “aku tak akan melakukan itu lagi, percayalah padaku” Aku hanya memandangnya sekilas kemudian melangkahkan kaki menjauhinya.
            “pergilah” gumamku lelah. Vic berusaha mengikuti langkahku.
            “maafkan aku, aku tahu aku salah” katanya. Aku berhenti untuk menghembuskan nafas panjang yang terasa sangat menyesakkan.
            “aku tak ingin mencampuri urusanmu lagi, dan tak akan membuatmu merasa tertekan lagi”
            “aku tak bermaksud mengatakan itu padamu” kilahnya.
            “tapi sudah terlanjur kau katakan” kata-kataku nyaris seperti bisikan.
            “tolong beri aku kesempatan, aku tidak ingin kehilanganmu”
            “apa yang kau mau dariku?” tanyaku lirih.
            “aku masih mencintaimu, kau tahu itu” ungkapnya. Alisku terangkat mendengarnya.
Sebelum aku sempat membalas kata-katanya, seseorang menghampiri kami berdua. Aku nyaris pingsan ketika mengenali siapa perempuan ini.
“aku mencarimu kemana-mana, kau tidak dengar ada pengumuman rapat sepulang sekolah ini?” katanya ketus dengan pandangan sinis, kemudian ekspresinya berubah ketika melihat Vic. Nia tersenyum padanya, “kau belum pulang?”
“belum” jawab Vic singkat. Aku meliriknya dari sudut mataku, tiba-tiba saja kebencian membuncah dalam darahku. Dia bahkan jauh lebih tidak merasa berdosa daripada Vic. Aku baru menyadarinya sekarang, bahwa Nia juga salah satu pengurus Osis.
“hmm, begitu. Kau tak keberatan pulang duluan? Siang ini banyak yang harus kami bahas dalam rapat” tanyanya pada Vic, Vic hanya mengangkat kedua tangannya.
“kalau aku menyuruhnya menungguku bagaimana?” akhirnya aku membuka mulut juga. Nia beralih memandangku, sambil menyipitkan matanya. Namun aku menatap tajam ke arah Vic.
“ya terserah” jawab Nia enteng, berbalik untuk mendahuluiku berjalan ke sekretariat. Vic membalas tatapanku, dan tersenyum samar.
“apa itu artinya kau memaafkanku?” tanyanya. Aku mendengus kesal.
“tidak, aku hanya ingin dia tahu bahwa kau itu-“ aku menghentikan kata-kataku dengan cepat.
“apa?” cengirnya, kurasa dia tahu apa kelanjutan kata-kataku barusan. Aku memutar bola mataku dan berjalan untuk menyusul Nia, Vic mengimbangi langkahku.
“kau semakin terlihat cantik kalau sedang merajuk” candanya, tapi aku tak tertarik sama sekali dengan itu.
“kau pulang saja deh, aku tak ingin mendengarmu berteriak padaku lagi”
“aku tak akan melakukan itu. Janji” Vic mengangkat kelingking ke arahku. Namun aku tak mengacuhkannya. “baiklah, baiklah, aku pulang. Sampai ketemu besok” lanjutnya lagi, kemudian berpaling dariku untuk menghampiri motornya.
Mataku terasa perih lagi, kenapa dia tak pernah berhenti memutar-mutarkan perasaanku…
______________
Kuarahkan mataku untuk mengamati ruangan yang sekarang telah penuh sesak dengan pengurus osis yang telah berkumpul di sekretariat. Kukira aku yang paling akhir datang, namun sepertinya aku salah. Aku sama sekali tak dapat menemukan laki-laki yang pernah menolongku waktu itu. Apa dia sudah pulang?
Aku memberanikan diri untuk bertanya pada seseorang disebelahku, aku juga tak mengenal namanya, namun sepertinya aku pernah melihat dia bersama laki-laki itu.
“kau tahu mengapa wakil sekretaris satu itu tidak datang rapat siang ini?” bisikku pelan, karena rapat telah dimulai sekarang.
“ha? Maksudmu Raffy?” jawabnya, lebih pelan dari pada suaraku.
“jadi namanya Raffy?” dia memandangku heran.
“kau ini mencarinya tapi tidak tahu siapa namanya…” lanjutnya sambil melirikku aneh.
“aku lupa” jawabku asal. “jadi, dimana dia?”
“pulang, katanya ada urusan. Kenapa mencarinya?” dia memicingkan matanya menatapku, aku hanya bisa mengangkat bahu dan menggeleng. “ah… kau ini benar-benar aneh!” dia menghembuskan nafas panjang. Sepertinya dia telah mengenal baik siapa Raffy ini.
“aku hanya ingin tahu” lirihku. Lalu tiba-tiba saja matanya melebar.
“kau Alin kan? Bukankah kau cukup dekat dengan Yuna (*salah satu pengurus osis)?” tanyanya, terlihat sedikit antusias.
“kenapa kau menanyakannya? Kau suka padanya?” kataku, tersenyum penuh kemenangan. Senang bisa membalasnya. Dan ketika laki-laki di sampingku ini hendak membuka mulut, seseorang meneriaki kami berdua seraya memukul meja keras-keras.
“ALIN! RAMA! Perhatikan rapat atau keluar sekarang juga!”
Kami tersentak dan cepat-cepat menundukkan kepala dalam-dalam untuk menghindari tatapan yang lainnya. Setidaknya, ada dampak positif ketika Ketua Osis memarahi kami: sekarang aku tahu siapa nama laki-laki disebelahku ini.
_____________
           

0 komentar:

Posting Komentar

© Lintangra, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena