Aku termenung dibalik jendela kamarku. Tersenyum memandang hujan. Kristal-kristal bening itu berebut membasahi jendela, membentuk embun memburamkan kacanya. Hawa dingin yang merembes melalui celah-celah kecil bingkai kayu itu, membuatku bergidik takjim. Kusentuh kaca jendela itu dangan telapak tanganku dan menggosoknya perlahan, agar embun-embun itu menyingkir. Entah mengapa hujan kali ini terlihat sangat indah dimataku.
Pikiranku mulai menerawang jauh, mengingat selaksa peristiwa tentangnya, tentang hujan. Dibalik kilau tetesan-tetesan bening itu menyimpan sejuta rindu yang nyata. Rindu yang terasa begitu memilukan hingga membuatku meneteskan air mata. Kini rindu itu telah melebur, mengalir bersama tetes-tetes hujan menuju muara...
______________________________
“aku mencintaimu” ungkapnya jelas. Aku tak menyangka dia akan berkata seperti itu. Padahal dia tahu pasti, aku ini milik orang lain.
“Ryuu… kenapa kau katakan itu…” lirihku muram. Aku tak mengerti mengapa sejak tadi jantungku terus berdetak tak beraturan.
“entahlah, aku hanya ingin kau tahu perasaanku” jawabnya. Aku tak melihat keraguan sedikitpun dari raut wajahnya.
“kau tahu bahwa aku…”
“milik orang lain. Aku tahu” potongnya cepat. Aku menundukkan kepala, tak ingin dia mengerti bagaimana perasaanku padanya saat ini. Sekuat tenaga, kutepis segala perasaan aneh yang membuatku begitu bimbang. Tidak. Aku tidak ingin mencintainya. Aku tidak boleh mencintainya.
“pergilah…” bisikku lemah. Aku tak mau dia melihat air mataku sedikitpun. Aku tak mau terlihat lemah di depannya. “pergi” ulangku.
“tidak. Aku akan menunggumu. Aku yakin kau juga memiliki perasaan yang sama denganku” jelasnya. Aku mencengkeram ulu hatiku, kenapa rasanya sesakit ini… “Ai, katakan bahwa kau juga mencintaiku…” lanjutnya.
“aku….” Mencintaimu… ya, aku memang mencintaimu. Tapi kau tahu pasti bagaimana aturannya Ryuuka, cintamu adalah hal yang tabu bagiku... jeritku dalam hati. Air mataku meleleh. Aku tak mampu melanjutkan kata-kataku. “…tidak pernah mencintaimu” suaraku parau, namun tetap terdengar jelas. Perlahan aku merasakan tetes-tetes air yang jatuh di atas kerudungku. Semakin lama semakin deras, namun kami berdua tetap terpaku di tempat kami berdiri. Membiarkan guyuran hujan membasahi sekujur tubuh. Kini aku berani mengangkat wajah untuk menatapnya, karena air mataku telah berpadu dengan hujan.
“Ai…” lirihnya. Ryuuka berjalan menghampiriku, melepas jaketnya yang basah dan membentangkannya di atas kepalaku. Melindungiku dari hujan yang semakin menjadi. Bisa kurasakan hawa dingin yang menusuk kulitku, merembes melalui celah-celah bajuku. “aku tak ingin memaksamu … aku akan segera pergi jika kau menginginkannya…”
“maafkan aku…” aku benar-benar menangis sekarang. Ryuuka memeluk pundakku lembut. Aku memandangnya, wajahnya tetap tenang seperti biasanya, namun tampak sedikit gurat kepedihan dalam raut wajahnya. Dia tersenyum, dan menggeleng.
“sudahlah Ai… kau dan aku tahu, bahwa kita tak bisa memaksakan perasaan seseorang. Aku bisa terima jika kau tidak mencintaiku, tapi jangan paksa aku untuk berhenti mencintaimu”
“bisakah kau mengabulkan satu permintaanku?” tanyaku sesenggukan.
“apapun..”
“tolong, jangan pernah mengatakan bahwa kau mencintaiku, di depanku lagi” lanjutku, melepas pelukan Ryuuka perlahan. Ryuuka hanya membisu sambil menatapku tajam, sebelum kemudian mengangguk lemah. Hujan masih belum mau menyerah untuk
membuat kami semakin larut dalam kesedihan. Akhirnya aku mengucapkan selamat tinggal padanya dan meninggalkannya sendiri di tengah hujan…
membuat kami semakin larut dalam kesedihan. Akhirnya aku mengucapkan selamat tinggal padanya dan meninggalkannya sendiri di tengah hujan…
Beberapa bulan kemudian.
“sudahlah Ai… jangan menangis lagi… Dia tidak cukup berharga untuk air matamu” Arika berusaha menenangkan perasaanku. Aku masih belum bisa percaya atas semua kesemuan cintanya yang selama ini berusaha ku jaga mati-matian.
“tidak… aku tak menangis untuk dia… hanya saja aku menyesal telah melukai Ryuuka waktu itu, cuma demi mendapatkan gelar setia dihadapan semua orang, aku mengorbankan perasaanku sendiri…” isakku.
“kau tahu sampai sekarang Ryuuka masih menunggumu…” aku memandang Arika tak percaya. Dia benar, tapi…
“aku tak mau ada siapapun yang beranggapan bahwa aku menjadikannya pelampiasan atas cintaku terhadap Vic”
“apa pedulimu dengan pendapat orang lain, jangan melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya” tegas Arika, seraya mencengkeram pundakku erat-erat. Benar. Aku tak mau mengulang kebodohanku yang dulu. Bagaimanapun aku sangat mencintai Ryuuka, kali ini aku tak akan membohongi perasaanku lagi.
Aku memacu motorku dengan kecepatan tinggi, tak peduli dengan mendung yang tengah tersenyum melihat kegelisahanku. aku mengurangi kecepatannya ketika sudah berada didepan rumah Ryuuka. Sebelum aku melepaskan helm dan menghampiri gagang pintu, pintu itu telah terbuka, memperlihatkan dua orang yang hendak keluar dari dalam rumah. Hatiku mencelos. Itu Ryuuka dengan…seorang gadis. Seluruh tubuhku gemetar melihat pemandangan di depanku. Aku tak mampu menahan emosi yang tiba-tiba saja meluap dari ubun-ubunku.
Ryuuka memandangku, setengah terkejut sebelum kemudian tersenyum dan melambai ke arahku. Aku membuang muka darinya dan bergegas menyalakan kembali motorku. Air mataku terjatuh, segala pemikiran yang berkecamuk dalam benakku, merusak akal sehatku. Kau bilang kau mencintaiku, kau akan menungguku, tapi kau… kau… Pandanganku buram oleh air mata. Tak mungkin aku menyetir pulang dalam keadaan seperti ini…
“Tunggu! Ai!” panggil Ryuuka. Aku bisa mendengar derap langkah-langkahnya mendekatiku. Jantungku perpacu semakin cepat. Aku tak ingin mendengar apapun tentang hubungannya dengan gadis itu. Motorku melaju secepat yang aku bisa, melesat menjauhi teriakan-teriakan Ryuuka yang semakin terdengar samar di belakang.
Tidak, tidak, tidak… Tak mungkin Ryuuka telah melupakanku… Atau mungkin ini hukuman untukku karena telah melukai perasaannya? Ya Tuhan…apa yang sebaiknya aku lakukan…
Aku terus menggumam tak jelas di dalam hati. Aku tahu pasti, apa yang kulakukan ini benar-benar tindakan bodoh. Harusnya aku mendengarkan penjelasannya terlebih dulu… Kupercepat laju motorku, melebihi kecepatan yang pernah aku lakukan sebelumnya. 80 km/jam… 100 km/jam… 120 km/jam… Aku melaju memecah angin, menghiraukan semilirnya yang kini terasa menyayat kulitku. Perih. Segala sesuatu yang ada di kiri kananku terlihat seperti bayangan-bayangan yang melintas cepat dalam pandanganku. Namun ada sesuatu yang terlihat lebih jelas dari bayangan lainnya, sesuatu yang terlihat jauh lebih dekat dari sebelumnya…
“TIDAAK!!!!” pekikku, sedetik sebelum semuanya menjadi gelap…
______
“Ai! Kau sudah sadar?! Ai..” samar-samar aku mendengar suara seseorang yang seperti sudah sangat kukenal. Aku berusaha untuk membuka mataku lebar-lebar, merasakan sesuatu yang aneh dalam benakku. Rasanya sudah bertahun-tahun lamanya aku tidak merasakan sejuknya udara segar. “Ai!” suara itu terdengar lagi, semakin jelas. Bisa kulihat ruangan putih yang mengelilingiku, serta tampak beberapa bayangan hitam yang memandang ke arahku.
Aku tersadar, dan merasakan sesuatu yang begitu menyakitkan dari ulu hatiku. Bayangan-bayangan aneh kembali muncul dalam otakku. Semakin terlihat jelas… “Ryuu! dimana Ryuuka?” tanyaku histeris. Aku ini benar-benar bodoh, padahal sebelumnya aku sama sekali tak ingin menemui Ryuuka dan malah ingin pergi sejauh mungkin dari hidupnya. Tapi entah mengapa, aku merasa sangat gelisah jika tak melihat batang hidungnya sekarang juga.
“tenanglah Ai… dengarkan penjelasanku baik-baik dengan tenang…” aku berpaling ke arah sumber suara itu. Arika menatapku lekat-lekat seraya menggenggam erat tangan kananku. matanya merah dan sembab akibat terlalu sering menangis. Aku menunggunya melanjutkan kata-katanya. “seminggu yang lalu kau kecelakaan, dan mengakibatkan jantungmu nyaris tak berfungsi. Kau sekarat. Satu-satunya cara menyelamatkanmu adalah mencangkok jantung lain ke dalam tubuhmu” bisa kudengar nada suaranya yang bergetar menahan tangis. Sepertinya Arika tak sanggup menyelesaikan kata-katanya.
“Arika…katakan terus terang… jantung siapa yang kini berdetak dalam tubuhku…” miris mengatakan hal itu, berharap semua dugaanku salah besar. Kulihat Arika menangis semakin keras memandangku.
“dia… jantung itu… miliknya…” suaranya tercekat. “jantung itu… m mmilik Ryuuka…”
Sekujur tubuhku kebas mendengar pernyataan barusan, mati rasa. Aku mencerna kata demi kata dalam kalimat itu. Jadi… detak jantung yang kurasakan ini… adalah milik Ryuu… Mustahil…
“Mustahil… tidak mungkin Ryuuka… tidak… Ryuuka tidak boleh…” tangisku.
“Ai… aku mohon tenanglah…” isak Arika. Arika memeluk erat tubuhku yang gemetar hebat. Aku masih belum bisa mempercayai ini semua.
“tidak… Ryuuka… kau tak boleh pergi… aku…aku belum sempat mengatakan bahwa aku juga mencintaimu… Tidak.. Arika! Katakan bahwa hal itu tidak benar… katakan bahwa Ryuuka masih hidup…”
Arika menggelengkan kepalanya pelan, “tidak Ai… Ryuuka telah pergi… dia mengorbankan nyawanya untukmu…” Arika menangis dipundakku. “cobalah untuk merelakan kepergiannya…”
“i ini semua s salahku…”
“sudahlah Ai…tak perlu menyesali hal yang sudah terjadi…” Arika melepaskan pelukannya dariku perlahan dan menyerahkan selembar surat di atas meja kepadaku. “tenanglah dan bacalah ini baik-baik…” aku mengambilnya dan mulai membacanya.
Hai Ai…
Apa kau sudah sadar? Maafkan aku karena tidak meminta izin padamu untuk memberikan hal terakhir yang dapat aku lakukan, untuk membuktikan bahwa aku mencintaimu. aku telah mendengar semuanya dari sahabatmu, Arika. Semua tentangmu, juga tentang perasaanmu padaku.
Aku menyesal karena terlambat hadir dalam hidupmu. Seandainya saja aku lebih dulu mengenalmu, pasti akan ada masa depan yang berbeda yang akan kita temui. Aku hanya ingin melihatmu bahagia… Tolong, hapus air matamu dan tersenyumlah. Tersenyumlah untukku, seseorang yang tak pernah berhenti mencintaimu…
Oya, apa kau sudah bertemu adik perempuanku? Dia yang keluar bersamaku ketika kau berada di depan rumahku waktu itu. Dia sangat tertarik padamu karena cerita-ceritaku tentangmu. Maafkan aku karena telah melanggar janjiku untuk tidak mengatakan hal ini di depanmu,
Aku mencintaimu, dan aku sangat bahagia bisa mengenalmu. Selamat tinggal Ai-ku, maaf jika kehadiranku hanya membuat hidupmu semakin resah. Ingatlah untuk selalu tersenyum padaku. Sekali lagi, aku sangat, sangat, sangat mencintaimu…
Ryuuka
Air mataku menetes semakin deras. Aku tak menyangka semuanya akan berakhir seperti ini… Ini murni kesalahanku. Akulah tersangka dalam kasus ini… Kurasakan Arika kembali memelukku. Membiarkan aku menangis dipundaknya, membasahi bajunya dengan air mataku yang tak akan pernah benar-benar mengering lagi…
__________________________________
Suara percikan hujan membuyarkan lamunanku. Ah… lagi-lagi aku melamun. Kusentuh pipiku yang terasa lengket oleh air mata yang mulai mengering. Perlahan kubuka jendelaku, dan membiarkan tetes-tetes hujan yang terbawa angin itu menyerbu wajahku. Aku kembali bergidik, dingin. Kuseka air mataku dengan kristal-kristal bening itu, segar rasanya. Aku tak hendak menutup jendelaku agar hawa dingin yang menusuk kulit itu sedikit berkurang. Kutengadahkan tanganku ke atas, di bawah hujan. Tak peduli pada rasa nyeri akibat tetesan yang semakin cepat terjatuh di atas telapak tanganku. Aku tersenyum sambil bersenandung ringan…
Hujan, sampaikan rinduku padanya malam ini… Terbangkan lewat angin yang berhembus membawa butir-butir air mataku yang ikut bersamanya… Katakan bahwa aku selalu mencintainya…
0 komentar:
Posting Komentar