✿ stay simple, stay humble ✿

Senin, 13 Juni 2011

Symphoni Hening


            “ibu, izinkan aku masuk…” aku mengetuk pintu kamar ibu beberapa kali namun tetap tak ada jawaban. Kucoba membuka pintu itu perlahan, dan, berhasil. Kamar ibu tidak dikunci.
            “tutup pintunya sekarang juga!” teriakan ibu membuatku terlonjak. Dengan segera kututup kembali pintu itu setelah berhasil menyelinap masuk ke dalam kamar. Ruangan ini benar-benar gelap, nyaris tak ada cahaya sedikitpun yang bisa kulihat. Kecuali keremangan sinar matahari yang berusaha menembus tirai jendela yg tertutup rapat.
            “ibu…” pangilku lembut.
            “apa… kau Alin? Alin kecilku?” Tanya ibu, suaranya terdengar serak. Aku bersyukur ibu masih mengenaliku, itu pertanda bagus.
            “ya, ibu” jawabku. Aku meraba di sekitarku, berusaha mendekati tempat tidur ibu. Mataku mulai terbiasa dengan kegelapan sekarang. Bisa kulihat bayangan samar ibu yang duduk meringkuk di bawah selimut, di ujung tempat tidurnya. Rambut ibu terurai panjang dan kulitnya yang sepucat vampire tampak sedikit terang dalam ruangan ini.
            “mendekatlah sayang, biarkan ibu memelukmu…” pinta ibu. Aku menurut dan duduk di samping tempat tidur ibu. Perlahan kurasakan dekapan ibu yang lemah, kulitnya terasa sangat dingin, namun wangi tubuhnya tetap tak berubah. Wangi mawar, parfum yang biasa dipakai ibu. “Alin… ibu mendengar suara-suara aneh dalam kepala ibu. Semakin lama suara itu terdengar semakin nyata…” ibu menangis. Ku usap lembut rambut panjang ibu perlahan.
            “mengapa tak ibu biarkan cahaya masuk ke ruangan ini bu…” lirihku.
            “Tidak! Tidak! Jika ada cahaya, maka aku juga akan melihat bayangan-bayangan aneh yang terus berkelebat dimataku!” ibu melepaskan pelukannya dariku dan mendekap lututnya erat-erat kedada.
            “ibu… sudah berbulan-bulan ibu tak melihat cahaya matahari…” air mata mulai mengambang di pelupuk mataku. Ibu memekik.
            “TIDAK!! Matahari itu membenciku! Jangan biarkan matahari itu menyakitiku!” isak ibu semakin menjadi.
            “ibu…” kudekap erat tubuh ibu yang gemetar hebat dengan kedua tanganku. “maafkan aku bu… Baiklah, akan aku perintahkan matahari itu untuk menjauh.” kataku seraya menghapus air mata dipipi ibu. Ibu sedikit rileks mendengar pernyataanku.
            “benarkah…? ya, kau memang anak baik… Alin…gadis kecilku yang baik…” kulihat ibu mengulum senyum dari sudut bibirnya meski masih terlihat samar. Akhirnya, aku bisa melihat senyuman itu setelah sekian lama. Kulirik meja kecil di samping tempat tidur ibu. Makanan ibu tak tersentuh sama sekali.
            “ibu… makan yuk?” tawarku lembut. Ibu menggeleng.
            “ibu sudah makan sayang, bersama ayahmu tadi.” Senyuman ibu masih terukir diraut wajahnya yang lembut. Meski wajah lembut itu kini berubah karena guratan kepedihan yang telah terpahat dalam sorot matanya. Kucengkeram erat ulu hatiku untuk meredam sakitnya, dan berusaha keras agar nada bicaraku tidak berubah. Ayah… ibu masih saja menganggap ayah masih ada.
            “Benarkah? Tadi ayah mengirimkan makanan untuk aku dan ibu. Bagaimana kalau kita makan juga bu?” aku menyambar nampan berisi makanan dan meletakkannya dipangkuanku. Lagi-lagi ibu menggeleng.
            “kita tunggu ayahmu pulang dulu, lalu kita makan bersama-sama” ucap ibu. Aku mengerjapkan mata untuk menahan air mataku agar tidak terjatuh. Aku belum menyerah.
            “kata ayah tadi, ayah akan datang membawa makanan yang lebih banyak lagi setelah makanan ini habis.” Aku mengarang cerita dengan lancar. Ibu terdiam dan akhirnya mengangguk.
            “baiklah kalau begitu. Orang baik ayahmu, selalu datang membawakan makanan untuk ibu.” Ungkapnya. Aku menyuapkan makanan perlahan ke mulut ibu, berusaha melihat sejelas mungkin dalam kegelapan. Setelah habis sekitar tujuh sendok, ibu tidak melanjutkan makannya lagi.
            “kapan ayahmu datang, lama sekali…” gumam ibu sedih.
            “sebentar lagi bu…” aku berusaha menenangkan hati ibu. Ibu mengangguk dan menghenyakkan tubuhnya pada bantal. “ibu… mungkin sebaiknya kita buka tirai jendelanya agar…”
            “Tidak!” teriak ibu memotong kalimatku.
            “ibu…tolong…”
            “Panggilkan suamiku sekarang!” perintah ibu. Aku hanya memejamkan mata pasrah dan menggangguk.
            “ya, ibu”
            “pastikan ia membawa makanan untukku!”
            “ya, ibu” ibu memelototiku dengan kasar.
            “dan berhentilah memanggilku ibu! Aku tak mengenalmu, tapi kau jelas bukan Alin kecilku!” aku kembali memejamkan mata menahan tangis.
            “tentu saja. Maaf ib… maaf.” Ucapku parau.
            “hmmm… sebaiknya jangan kembali kesini lagi kalau kau tak ingin suamiku membereskanmu. Dia orang yang sangat penting tahu!” aku menangis sekarang, meski tak meneteskan air mata.
            “baiklah… nyonya.” Secepat mungkin aku keluar kamar dengan membawa nampan. Kusandarkan tubuhku yang limbung dibalik pintu kamar ibu yang telah tertutup rapat. Lututku gemetar hebat. Dari luar, bisa kudengar suara isak tangis ibu yang semakin keras. Tidak, ini bukan saat yang tepat untuk ikut menangis. Kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi, berwudhu. Entah jam berapa sekarang, aku hanya ingin bersujud dan bersimpuh kepadaNya, sebelum kesedihan berhasil menguasaiku. Aku tahu, cerita masih belum berakhir…

By: Ai Lynn

0 komentar:

Posting Komentar

© Lintangra, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena