Jam dinding pada kamarku telah menunjukkan pukul 23.30 WIB, namun mataku masih belum bisa terpejam juga. Aku mencoba mendengarkan suara yang bisa kudengar selain suara detik jarum jam yang mengalun teratur. Sepertinya adik telah tertidur di kamarnya. Malam ini hanya ada aku dan adik di rumah, karena ayah dan bunda tengah mengurus perceraian mereka yang akan resmi dibuka di pengadilan besok. Aku keluar kamar, dengan mengenakan jaket dan jilbab hitam kesayanganku. Kubuka pintu belakang perlahan, menuju halaman belakang rumah. Udara malam menyapa lembut wajahku, dingin. Aku menengadah memandang langit. Malam ini tak begitu cerah. Hanya ada beberapa kerlip bintang dan cahaya samar dari bulan yang belum bulat sempurna. Kuletakkan tubuhku dibangku kayu kecil sambil tetap menikmati keindahan malam. Aku mencoba merasakan keheningan dalam kegelapan yang menyelimutiku, berharap mendung segera menyingkir agar bulan dapat sedikit berbagi cahayanya denganku, menghapus sedikit kegelisahanku…
“hai bulan…” aku terperanjat mendengar suara yang tiba-tiba muncul di dekatku. Kulihat adik dengan santai menghampiriku dan duduk tepat di sebelahku. Ia tersenyum dan menampakkan giginya yang putih dalam keremangan cahaya bulan. “kenapa kau gak balas menyapaku?” tanyanya. Aku tak mengerti pada siapa pertanyaan itu tertuju. Aku atau bulan? “hei!” ia menepuk pundakku pelan. Aku?
“aku bukan bulan” sahutku cepat. Kulirik adik yang nyengir lebar di sampingku.
“kau bulan bagiku” jawabnya, masih tersenyum.
“bukan. Aku bintang” protesku.
“kau bulan. Karena kau gak pernah bisa memancarkan cahayamu sendiri tanpa ada yang mendukungmu, yang membantumu bersinar” jelasnya. Aku termenung mendengar kata-katanya.
“lalu menurutmu, siapa yang akan membantuku bersinar?
“tentu saja matahari. Aku” jawabnya. Aku memandangnya takzim. Semua yang dikatakannya benar-benar tepat sasaran. Tapi aku belum bisa menerimanya. Aku ini bintang. Dari dulu semua menyebutku bintang.
“mengapa harus kau?” lirihku.
“karena dalam kasus ini,
aku jauh lebih tegar daripada kau. Tanpaku, kau tak akan mampu bersinar. Lihat saja dirimu, menangis setiap malam, merenungi ketidakadilan yang diberikanNya pada keluarga kita” ocehnya.
aku jauh lebih tegar daripada kau. Tanpaku, kau tak akan mampu bersinar. Lihat saja dirimu, menangis setiap malam, merenungi ketidakadilan yang diberikanNya pada keluarga kita” ocehnya.
“diam” perintahku. Mataku panas mendengar pernyataannya.
“kau yang diam” balasnya. Suasana hening beberapa saat sebelum dia melanjutkan, “kak, berjanjilah padaku kau gak akan pernah menangis lagi karena masalah ini” pintanya.
“aku gak bisa” sebelum mengatakan itu pun air mataku telah terjatuh. “setidaknya, berikan aku ruang untuk menangis. Aku lelah berpura-pura tersenyum di depan semua orang” isakku.
“maka jangan berpura-pura lagi. Tersenyumlah. Karena itulah bintang yang aku kenal dari dulu”
“katamu, aku bulan?” tanyaku heran.
“iya, kau bulan” adik menatapku dengan cengirannya. Aku berusaha keras untuk tidak ikut tersenyum. Namun gagal. Dia memang matahariku, yang setia menyinariku dalam keadaan apapun. Perlahan kurasakan tangannya meremas pundakku. “kita pasti sanggup menjalani semua ini bersama. Aku, kau, dan bunda. Percayalah. Mungkin besok adalah malam terakhir ayah di rumah ini, tapi tananglah kak… aku siap menggantikan sosok ayah bagimu, jika itu yang kau inginkan” lanjutnya. Aku menggeleng lembut seraya menghapus air mataku.
“tidak, kau akan tetap menjadi adik laki-lakiku. Tetap menjadi matahariku” jawabku tegas. Senyum kembali merekah dari bibirnya. Aku tahu, kepedihan yang aku rasakan, bahkan tak sebanding dengan kepedihannya. Namun itulah dia, matahari dalam keluargaku. Rembulan masih belum mau memberikan cahaya sepenuhnya untuk malam ini. Namun aku yakin, Ia masih akan tetap bersinar selama ada matahari disisinya. Aku bertasbis merasakan semua yang telah digariskan Allah untuk hidupku. Aku tahu Dia Maha Adil…
“lihatlah bunda… lelaki kecilmu ini, kini telah beranjak dewasa…” senyumku dalam hati.
Rogojampi, April 2009
0 komentar:
Posting Komentar