✿ stay simple, stay humble ✿

Senin, 29 Agustus 2011

Symphoni Hening (2)

Malam ini langit cerah berbintang, angin malam mengibarkan rambutku perlahan lewat semilirnya. Suara rumput terdengar  jelas bergesekan di samping rumah. Hanya ada beberapa rumah yang terlihat masih menyalakan lampunya, termasuk rumahku. Duduk di teras ini, membuat hatiku tenang. Tapi bukan untuk itu aku memutuskan duduk disini selama berjam-jam. Ada sesuatu yang menjadi kegelisahanku dari tadi. Dan entah mengapa aku tak ingin melakukan apapun selain duduk tegang dikursi teras hingga ia kembali.
                Aku menunggu ibu, ia tak mengatakan apapun padaku sebelum pergi, dan aku menyesal tidak menanyakannya. Sejak ibu memutuskan untuk keluar dari kamarnya, tak pernah sedikitpun ibu menanyakan tentang ayah. Kurasa itu pertanda bagus, namun sepertinya aku salah. Ibu terlihat lebih menderita dari biasanya, matanya sayu dan selalu terlihat sembab. Ibu hanya bicara padaku hal-hal yang penting saja, selebihnya, hanya aku yang berbicara sendiri karena tak sedikitpun ibu menjawab ataupun merespon ucapanku. Aku bahkan ragu ibu bisa mendengar suaraku.
                Sayup-sayup dari kejauhan aku mendengar suara orang menangis. Aku curiga itu adalah suara ibu, tapi aku tak mampu melihat sosok tubuh ibu sama sekali. Aku bangkit dari dudukku dan mencari sumber suara itu. Hingga keluar pagar, aku tetap tak bisa menemukan siapa pemilik tangisan itu. Belum sempat kulangkahkan kakiku lebih jauh, tangisan itu berhenti. Aku membatu di depan pagar rumahku, dan berusaha  mendengarkan lebih seksama. Sepertinya suara itu benar-benar telah berhenti…l
                “Ailyn!!” aku berbalik ke arah teriakan itu. Sesaat sebelumnya aku pikir itu adalah suara ibu, tapi bukan. Seorang wanita dengan tubuh semampai berjalan cepat menghampiriku. Ketika telah berada dalam jarak pandangku, aku mengenali siapa wanita ini.
                “Ada apa tante?” tanyaku, ketika wanita itu berhenti untuk mengatur nafasnya yang terengah-engah. Dia tante Nia, tetanggaku.
                “ibumu… Bu Senja…” sengalnya. Aku melihat air mata dari sudut matanya, kepanikan mengalir disetiap sel otakku.
                “apa? Ibu kenapa? Ada apa tante?” jantungku berpacu cepat.
                “aku menamukan Bu Senja pingsan disudut jalan sana, karena tak ada orang sama sekali , aku menelpon ambulan” jelas tante Nia. Darah dari otakku terasa turun seketika, segalanya seperti berputar-putar di atasku. Tapi ini bukan saat yang tepat untuk sakit, tidak, aku tak boleh jatuh sakit!
                “dimana ibu tante? Kemana ambulan membawanya?” aku berusaha untuk tetap tenang dan berfikir jernih. Sekarang yang harus kulakukan adalah pergi ke Rumah Sakit itu.
                Setelah tante mendiskripsikan Rumah Sakit yang ia maksud, aku berlari secepat yang aku bisa tanpa pikir panjang lagi. Aku berlari memecah angin, air mata membasahi pipiku. Meski pandanganku memburam karena air mata, meski langkah kakiku kelu karena terus berlari, aku tak bolah menyerah. Aku tak akan memafkan diriku sendiri jika terjadi sesuatu pada ibu.
                Entah sudah berapa menit berlalu, aku terus berlari mencari Rumah Sakit itu. Sayup-sayup aku teringat ucapan tante Nia bahwa tempat itu hanya berjarak kurang dari dua kilo dari rumah. Jalanan terlalu sepi dan tak ada satupun angkutan kota yang kutemukan. Lampu-lampu jalanan semakin membuat pandanganku memburuk karena pantulan sinarnya.
                “ibu… bertahanlah… aku segera datang…” lirihku dalam tangisan. Ini bukan yang pertama kalinya ibu seperti ini, namun aku terlalu bodoh sehingga mengira ibu akan baik-baik saja pergi tanpa aku. Aku tersandung sesuatu dibawah, dan terjatuh. Sandal selop tua yang aku pakai terputus, mustahil aku berlari dengan sandal seperti ini, jadi kuputuskan untuk melepas keduanya. Aku kembali berlari tanpa alas kaki. Tak menghiraukan sakitnya kerikil yang beberapa kali aku injak, ataupun keringatku yang kini telah membasahi seluruh tubuhku.
                Akhirnya aku menemukannya, Rumah Sakit dimana ibu dirawat. Aku berlari masuk dan bertanya pada resepsionis, dan langsung melanjutkan langkahku ketika resepsionis itu telah memberitahu dimana kamar ibu. Dari deretan jendela kamar yang terbuka, aku menemukannya.
                “ibu…” aku berjalan mendekati ranjang ibu. Ibu terbaring lemah tanpa suara, selang-selang infuse terkait pada lengan dan kedua lubang hidungnya, wajahnya pucat pasi. Air mata kembali menetes dari pelupuk mataku. Aku duduk dikursi samping tempat tidur ibu, dan memegang tangan kanannya yang terkulai lemas.

                “ibu… bangun bu… maafkan aku…” aku mencium tangan ibu. Hatiku benar-benar sakit merasakan ini semua. “ibu… ada apa dengan ibu… sadarlah... aku janji tak akan membiarkan ibu pergi sendiri lagi. Bangun bu…” isakku tertahan. Kugenggam erat tangan ibu yang putih pucat seperti vampire. Aku tidak tahan melihat raut wajah ibu seperti itu. Bahkan aku kesulitan untuk mengatur nafasku.
                “maaf, kau bisa pakai ini untuk menghapus itu” kata seseorang. Aku berpaling ke arah seseorang itu, wajah laki-laki itu sepertinya tak asing dimataku. Entah mengapa aku merasa seperti telah mengenalnya sejak dulu. Ketika kuamati dia lebih seksama, dia mengenakan piama yang biasa dipakai oleh pasien-pasien di Rumah Sakit. Dan sadarlah aku, bahwa bukan hanya ibu yang dirawat di ruangan ini.
                “kau…siapa?” tanyaku sesenggukan. Laki-laki itu tersenyum dan mengulurkan sapu tangan untukku. “untuk apa ini?” aku melirik sapu tangan yang dipengangnya. Tanpa berkata apa-apa dia mendekatkan sapu tangan yang dipegangnya dan mengusapkannya pada hidungku.
                “darah. Kau mimisan, apa kau baik-baik saja?” Tanyanya. Aku melihat sapu tangan putih yang sekarang merah ternoda darah. “kau sangat pucat dan berantakan, kau pasti berlari ketika datang kemari. Telapak kakimu juga berdarah, bahkan punggung tanganmu terluka” laki-laki itu menatapku lekat-lekat, namun aku hanya terdiam dan berusaha mencerna apa yang dikatakan olehnya.
                “emm… terimakasih…” jawabku asal. “siapa kau? Dan apa yang kau lakukan disini?”
                “aku Reihan, dan ibumu sekamar denganku. Aku telah disini beberapa minggu yang lalu. Aku iri dengan ibumu, ketika beliau datang untuk dirawat di Rumah Sakit ini, kau langsung datang tanpa memikirkan keadaanmu…” Reihan kembali tersenyum. “pasti ibumu adalah orang yang sangat berharga bagimu. Memiliki seseorang yang peduli pada kita, betapa beruntungnya…” aku menatap wajahnya, meskipun dia tersenyum padaku, aku bisa melihat kepedihan dalam matanya.
                “iya, ibuku adalah satu-satunya orang yang paling berharga buatku. Aku tak tahu harus bagaimana lagi jika terjadi sesuatu padanya…” aku kembali memandang ibu. Reihan ikut duduk di kursi disampingku, dengan satu lengan yang di infuse, seperti ibu. “kau…apakah keluargamu tidak datang menjengukmu?”
                “datang, kadang-kadang. Tapi aku berharap mereka tak akan datang lagi…” jawabannya membuatku tercengang...

By: Ai Lynn

0 komentar:

Posting Komentar

© Lintangra, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena