“kenapa kau menangis sayang?” aku menengadah mencari sumber suara itu. Bayangan anggun di depan mataku nyaris membuatku tak mengenali sosok ibu.
“ibu…” aku memeluk pinggang ibu erat-erat, hingga air mataku jatuh membasahi busananya. Ibu membalas pelukanku.
“ceritakan pada ibu nak, siapa yang tega membuatmu sesedih ini?” ibu membelai lembut rambutku yang tergerai panjang, dan menunggu jawabanku dengan sabar.
“tidak ibu, akulah yang telah membuatnya sedih…” isakku. “dia… Pangeran Senja… aku membuatnya terluka…” aku terisak semakin keras dalam dekapan ibu.
“kenapa kau lakukan itu Bintangku…?” Tanya ibu, sambil melepaskan pelukanku perlahan dan menghapus air mataku dengan ujung lengannya.
“aku tak mengerti apa yang aku lakukan ini benar atau tidak… Tapi aku…aku tak bisa memenuhi janjiku untuk selalu bersamanya, ibu…” suaraku terdengar sangat aneh di telingaku. “aku mengatakan hal yang sama sekali tak ingin kuungkapkan. Aku hanya tak ingin…dia melihatku yang seperti ini lagi…”
“putriku… lakukan apa yang menurutmu baik untuk dilakukan. Dan jangan pernah menyesali keputusan yang telah kau pilih sendiri. Kehidupan manusia itu bagaikan roda yang berputar, kadang sedih dan kadang bahagia. Tak selamanya kau akan merasakan kebahagiaan…”
“ibu, pernahkah aku merasa bahagia sejak ibu meninggalkanku?”
“sayang…” lirih ibu sedih.
“pernahkah terlintas dipikiran ibu kalau aku akan baik-baik saja tanpa ibu? Aku rapuh bu… hatiku bagai kertas putih yang telah hangus termakan api, jika angin meniupnya, maka habislah sudah… hatiku akan terbang kemana angin akan membawanya… Aku tak pernah bahagia sejak ayah, ibu, pergi satu persatu dalam kehidupanku… Tidakkah ibu mengerti akan hal itu…?”
“ibu menyesal melakukan itu sayang… Tapi bukankah belum lama ini kau mengatakan pada ibu bahwa kau telah menemukan kebahagiaanmu bersama Pangeran itu?” ibu menggenggam tangan kananku dengan kedua tangannya. Aku merasa bersalah karena membuat raut wajahnya menjadi sedih.
“aku… ya, aku memang bahagia bersama Pangeran Senja… tadinya…”
“lalu mengapa kebahagiaan itu membuatmu sedih?”
“Pangeran Senja tidak lagi seperti dulu ibu… dia telah berubah, tidak seperti pertama kali aku mengenalnya. Dia sering mengingkari janji-janjinya, dia sering membuatku gelisah, membuatku menangis karena sikapnya, dia sering mengabaikan aku, dan bahkan dia tak pernah ada saat aku membutuhkan kehadirannya. Aku tak mampu terus menerus menahan sakit tanpa alasan tentang absennya dia dari kehidupanku ibu… Tapi ketika aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya, memutuskan untuk menyakiti hatinya, aku merasa sangat bersalah dan menyesal… aku tak pernah ingin melihatnya terluka seperti itu…” air mataku kembali merebak.
“sayang… tidakkah kau menyadari akan satu hal? Bahwa bisa saja dia merasakan perasaan yang sama terhadapmu. Dia pasti punya alasan mengapa dia melakukan semua itu padamu. Dia hanya tak mengerti bagaimana cara menjaga hatimu lebih baik, dia hanya tak bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya ingin dia lakukan untukmu, untuk hatimu…”
“aku masih sangat mencintainya, ibu…” kata-kataku nyaris seperti bisikan. Ibu mengangkat daguku perlahan dan menatap mataku yang bersimbah air mata lekat-lekat.
“lalu apakah kau yakin dia tidak merasakan perasaan yang sama denganmu? Bagaimana jika cintanya padamu bahkan lebih besar daripada cintamu untuknya?”
“aku…”
“putriku sayang… ibu tak ingin mencampuri urusan cintamu, tapi ibu sungguh tak ingin melihatmu sedih seperti ini… Sekarang kau hanya memiliki dua pilihan, kembali padanya dan setia menunggunya sampai dia menyelesaikan apa yang ingin dia selesaikan, atau menghilang dari kehidupannya dan meninggalkan luka yang dalam di hatinya? Pilihlah mana yang membuatmu bahagia…”
“lukanya adalah lukaku juga ibu, tapi aku…juga akan terluka jika terus bersamanya… Lagipula ibu tahu, sekarang atau nanti, jika dia tetap bersamaku, maka dia juga akan terluka karenaku…”
“setidaknya berikan dia kebahagiaan sebelum dia akan terluka lebih dalam lagi…”
“memberi harapan untuknya agar dia terluka lebih dalam lagi?” tanyaku heran.
“bukan, tapi memberinya kesempatan untuk bahagia sebelum kau benar-benar menghilang dari kehidupannya…”
“lalu hatiku ibu? Kebahagiaanku?”
“kebahagiaanmu sayang… adalah melihat orang yang kau cintai bahagia… Katakan kalau ibu salah?” ibu tersenyum kepadaku. Tidak ada seorangpun yang mengenalku lebih baik daripada ibu.
“ibu benar… tapi bu,bagaimana jika Pangeran Senja tak mau menerimaku lagi setelah aku melukainya seperti itu…” ungkapku sedih.
“jika dia tak mau menerimamu lagi, artinya dia memang telah bahagia tanpamu sayang. Dan untuk itu kau harus mempersiapkan hatimu…” ibu kembali membelai rambutku dan mendekapku lembut.
“aku butuh waktu untuk mempersiapkannya bu, apa menurut ibu Pangeran Senja masih akan tersenyum manis untukku?” tanyaku berharap.
“tentu saja sayang…”
“ibu… cepatlah kembali…” kataku sesenggukan. Ibu hanya terus mengusap-usap rambutku dan tak melepaskan tangannya yang mendekap erat tubuhku. Hening beberapa saat, yang terdengar hanyalah isak tangisku dan suara detik jarum jam yang mengalun teratur.
“ibu tahu kau perempuan yang tegar nak…” bisik ibu di telingaku.
“tidak ibu… aku lemah tanpa ibu…” lirihku.
“kalau lemah, kau tidak akan bertahan sampai sejauh ini sayang… Tetaplah menjadi bintang favorit ibu yang dulu, yang selalu memancarkan sinarnya untuk kebahagiaan orang lain. Tetaplah tersenyum untuk orang-orang yang menyayangimu…”
“aku akan berusaha, jika itu yang ibu inginkan…” ibu melepaskan pelukannya dariku dan memegang pundakku dengan kedua tangannya.
“ibu harus pergi sayang… Berjanjilah kau akan selalu menunggu ibu kembali, karena ibu pasti akan kembali untukmu. Sampaikan salam ibu pada Pangeran Senja…”
“tidak… jangan katakan bahwa ini semua hanya mimpi ibu…” sahutku panik. Aku tak ingin mempercayai bahwa ini semua hanya mimpi. Tapi bisa kulihat dengan jelas, bayangan anggun itu memudar dengan perlahan.
“suatu saat pasti akan menjadi kenyataan sayang…” ibu mencium lembut keningku, membelai rambutku lagi. “wah, ibu tak sadar kalau rambutmu sudah sepanjang ini. Indah sekali…”
“aku mohon ibu…” isakku.
“kau pasti bisa menyelesaikan masalah ini sendiri nak… kau selalu bisa… Sampai ketemu di mimpi berikutnya…”
Bayangan anggun itu kini benar-benar telah pudar. Tak ada gunanya aku memanggil-manggil ibu untuk kembali mendekapku. Kini aku hanya bisa pasrah menghadapi hari esok. Aku butuh waktu, pasti. Tapi secepat mungkin aku akan memutuskan apa yang akan kuputuskan. Dan berjanji tak akan pernah menyesali keputusanku…
Pangeran itu...mungkinkah dia bisa merasakan hatiku saat ini…
By : Ai Lynn
“ibu…” aku memeluk pinggang ibu erat-erat, hingga air mataku jatuh membasahi busananya. Ibu membalas pelukanku.
“ceritakan pada ibu nak, siapa yang tega membuatmu sesedih ini?” ibu membelai lembut rambutku yang tergerai panjang, dan menunggu jawabanku dengan sabar.
“tidak ibu, akulah yang telah membuatnya sedih…” isakku. “dia… Pangeran Senja… aku membuatnya terluka…” aku terisak semakin keras dalam dekapan ibu.
“kenapa kau lakukan itu Bintangku…?” Tanya ibu, sambil melepaskan pelukanku perlahan dan menghapus air mataku dengan ujung lengannya.
“aku tak mengerti apa yang aku lakukan ini benar atau tidak… Tapi aku…aku tak bisa memenuhi janjiku untuk selalu bersamanya, ibu…” suaraku terdengar sangat aneh di telingaku. “aku mengatakan hal yang sama sekali tak ingin kuungkapkan. Aku hanya tak ingin…dia melihatku yang seperti ini lagi…”
“putriku… lakukan apa yang menurutmu baik untuk dilakukan. Dan jangan pernah menyesali keputusan yang telah kau pilih sendiri. Kehidupan manusia itu bagaikan roda yang berputar, kadang sedih dan kadang bahagia. Tak selamanya kau akan merasakan kebahagiaan…”
“ibu, pernahkah aku merasa bahagia sejak ibu meninggalkanku?”
“sayang…” lirih ibu sedih.
“pernahkah terlintas dipikiran ibu kalau aku akan baik-baik saja tanpa ibu? Aku rapuh bu… hatiku bagai kertas putih yang telah hangus termakan api, jika angin meniupnya, maka habislah sudah… hatiku akan terbang kemana angin akan membawanya… Aku tak pernah bahagia sejak ayah, ibu, pergi satu persatu dalam kehidupanku… Tidakkah ibu mengerti akan hal itu…?”
“ibu menyesal melakukan itu sayang… Tapi bukankah belum lama ini kau mengatakan pada ibu bahwa kau telah menemukan kebahagiaanmu bersama Pangeran itu?” ibu menggenggam tangan kananku dengan kedua tangannya. Aku merasa bersalah karena membuat raut wajahnya menjadi sedih.
“aku… ya, aku memang bahagia bersama Pangeran Senja… tadinya…”
“lalu mengapa kebahagiaan itu membuatmu sedih?”
“Pangeran Senja tidak lagi seperti dulu ibu… dia telah berubah, tidak seperti pertama kali aku mengenalnya. Dia sering mengingkari janji-janjinya, dia sering membuatku gelisah, membuatku menangis karena sikapnya, dia sering mengabaikan aku, dan bahkan dia tak pernah ada saat aku membutuhkan kehadirannya. Aku tak mampu terus menerus menahan sakit tanpa alasan tentang absennya dia dari kehidupanku ibu… Tapi ketika aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya, memutuskan untuk menyakiti hatinya, aku merasa sangat bersalah dan menyesal… aku tak pernah ingin melihatnya terluka seperti itu…” air mataku kembali merebak.
“sayang… tidakkah kau menyadari akan satu hal? Bahwa bisa saja dia merasakan perasaan yang sama terhadapmu. Dia pasti punya alasan mengapa dia melakukan semua itu padamu. Dia hanya tak mengerti bagaimana cara menjaga hatimu lebih baik, dia hanya tak bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya ingin dia lakukan untukmu, untuk hatimu…”
“aku masih sangat mencintainya, ibu…” kata-kataku nyaris seperti bisikan. Ibu mengangkat daguku perlahan dan menatap mataku yang bersimbah air mata lekat-lekat.
“lalu apakah kau yakin dia tidak merasakan perasaan yang sama denganmu? Bagaimana jika cintanya padamu bahkan lebih besar daripada cintamu untuknya?”
“aku…”
“putriku sayang… ibu tak ingin mencampuri urusan cintamu, tapi ibu sungguh tak ingin melihatmu sedih seperti ini… Sekarang kau hanya memiliki dua pilihan, kembali padanya dan setia menunggunya sampai dia menyelesaikan apa yang ingin dia selesaikan, atau menghilang dari kehidupannya dan meninggalkan luka yang dalam di hatinya? Pilihlah mana yang membuatmu bahagia…”
“lukanya adalah lukaku juga ibu, tapi aku…juga akan terluka jika terus bersamanya… Lagipula ibu tahu, sekarang atau nanti, jika dia tetap bersamaku, maka dia juga akan terluka karenaku…”
“setidaknya berikan dia kebahagiaan sebelum dia akan terluka lebih dalam lagi…”
“memberi harapan untuknya agar dia terluka lebih dalam lagi?” tanyaku heran.
“bukan, tapi memberinya kesempatan untuk bahagia sebelum kau benar-benar menghilang dari kehidupannya…”
“lalu hatiku ibu? Kebahagiaanku?”
“kebahagiaanmu sayang… adalah melihat orang yang kau cintai bahagia… Katakan kalau ibu salah?” ibu tersenyum kepadaku. Tidak ada seorangpun yang mengenalku lebih baik daripada ibu.
“ibu benar… tapi bu,bagaimana jika Pangeran Senja tak mau menerimaku lagi setelah aku melukainya seperti itu…” ungkapku sedih.
“jika dia tak mau menerimamu lagi, artinya dia memang telah bahagia tanpamu sayang. Dan untuk itu kau harus mempersiapkan hatimu…” ibu kembali membelai rambutku dan mendekapku lembut.
“aku butuh waktu untuk mempersiapkannya bu, apa menurut ibu Pangeran Senja masih akan tersenyum manis untukku?” tanyaku berharap.
“tentu saja sayang…”
“ibu… cepatlah kembali…” kataku sesenggukan. Ibu hanya terus mengusap-usap rambutku dan tak melepaskan tangannya yang mendekap erat tubuhku. Hening beberapa saat, yang terdengar hanyalah isak tangisku dan suara detik jarum jam yang mengalun teratur.
“ibu tahu kau perempuan yang tegar nak…” bisik ibu di telingaku.
“tidak ibu… aku lemah tanpa ibu…” lirihku.
“kalau lemah, kau tidak akan bertahan sampai sejauh ini sayang… Tetaplah menjadi bintang favorit ibu yang dulu, yang selalu memancarkan sinarnya untuk kebahagiaan orang lain. Tetaplah tersenyum untuk orang-orang yang menyayangimu…”
“aku akan berusaha, jika itu yang ibu inginkan…” ibu melepaskan pelukannya dariku dan memegang pundakku dengan kedua tangannya.
“ibu harus pergi sayang… Berjanjilah kau akan selalu menunggu ibu kembali, karena ibu pasti akan kembali untukmu. Sampaikan salam ibu pada Pangeran Senja…”
“tidak… jangan katakan bahwa ini semua hanya mimpi ibu…” sahutku panik. Aku tak ingin mempercayai bahwa ini semua hanya mimpi. Tapi bisa kulihat dengan jelas, bayangan anggun itu memudar dengan perlahan.
“suatu saat pasti akan menjadi kenyataan sayang…” ibu mencium lembut keningku, membelai rambutku lagi. “wah, ibu tak sadar kalau rambutmu sudah sepanjang ini. Indah sekali…”
“aku mohon ibu…” isakku.
“kau pasti bisa menyelesaikan masalah ini sendiri nak… kau selalu bisa… Sampai ketemu di mimpi berikutnya…”
Bayangan anggun itu kini benar-benar telah pudar. Tak ada gunanya aku memanggil-manggil ibu untuk kembali mendekapku. Kini aku hanya bisa pasrah menghadapi hari esok. Aku butuh waktu, pasti. Tapi secepat mungkin aku akan memutuskan apa yang akan kuputuskan. Dan berjanji tak akan pernah menyesali keputusanku…
Pangeran itu...mungkinkah dia bisa merasakan hatiku saat ini…
By : Ai Lynn
0 komentar:
Posting Komentar