Malam ini, hamparan bintang di angkasa membirai pandanganku. Seindah matahari saat turun keperaduannya. Aku membaringkan tubuhku di atas rerumputan di samping rumahku. Angin malam menyapaku lembut lewat semilirnya. Kuarahkan mataku pada benda paling terang di antara beribu bintang. Setidaknya itulah yang kulihat dalam pandanganku…
“hai bulan… malam ini aku mmerindukanmu…” sapaku pelan. Aku tersenyum pada bulan, berharap dia bisa membalas sapaanku, meski hanya sekedar tersenyum.
“hai juga…”
Aku terlonjak mendengar suara barusan, berusaha mencari tahu dimana sumber suara itu berasal. Namun nihil, aku tak menemukan siapapun disekitarku selain rumput-rumput yang bergoyang ditiup angin dan siluet lampu kamarku yang masih menyala.
“siapa kau?” tanyaku ragu.
“aku bulan” lagi-lagi suara itu membalas. Aku melirik bulan yang bersinar semakin terang di atas kepalaku. Mungkinkah?
“apa? Kau… benar-benar bulan? Apa kau benar-benar bisa mendengarku?” aku semakin tak bisa mempercayai apa yang sedang terjadi. Namun ketika aku merasa ini hanyalah ilusiku semata, suara itu kembali terdengar jelas.
“tentu saja. Menurutmu siapa aku?” suara itu adalah suara paling lembut yang pernah aku dengar seumur hidupku. Anehnya, aku sama sekali tak merasa takut dengan kehadiran suara misterius itu.
“kau membuatku ragu…” lirihku jujur.
“benarkah? Coba lihat aku” perintahnya. Aku menurut dan menengadah untuk menatap bulan lebih seksama. Cahayanya berpendar terang sekali, seakan bulan itu mengerti aku sedang menatapnya.
“aku memang mengerti”
“apa? Aku belum mengatakan itu padamu…” protesku.
“tak perlu, aku bisa membaca pikiranmu” belum sempat aku menemukan jawaban dalam kepalaku tentang siapa pemilik suara itu, dia telah mengatakan hal yang semakin membuat otakku terkuras.
“baiklah aku menyerah… aku percaya bahwa kau memang benar-benar bulan” ungkapku. Meski keraguan itu belum sepenuhnya hilang, tapi apa yang aku dengar memang benar-benar riil terjadi.
“ya, aku bulan”
“hmmm… jadi tolong jelaskan padaku, kenapa selama ini kau tak pernah membalas semua yang aku katakan padamu sebelum malam ini? Hey, sekarang aku jadi merasa seperti orang bodoh…” benar, selama ini aku pikir aku benar-benar sudah gila karena sering berharap bulan mendengarku dengan mencoba bicara padanya.
“maaf… aku hanya ingin tahu berapa lama kau bertahan melakukan itu. Kau tahu, kau orang pertama yang mengajakku bicara, dan juga pertama kalinya aku mencoba bicara pada anak hawa”
“wah… ada banyak hal di dunia ini yang terjadi diluar kemampuan nalar manusia ya. Sejujurnya, aku selalu bicara pada semua hal yang dianggap orang lain adalah benda mati. Aku tak peduli mereka menyebutku gila jika pada akhirnya tahu bagaimana kebiasaanku. Hahaha… terkadang itu kulakukan hanya untuk menghibur diri…”
“hahaha? Apa tertawamu selalu seperti itu? Aku tak melihat ada perubahan dalam suara tawamu sejak pertama kali kau bicara padaku. Datar, kosong, tak bernyawa” jelasnya.
“benarkah? Aku tak pernah menyadarinya sama sekali…” jawabku manggut-manggut.
“begitulah. Mengapa kau tak menceritakan masalahmu hari ini? bukankah selalu ada yang kau keluhkan padaku setiap malam?” aku berhenti memandang bulan dan mengarahkan kepalaku kesamping. Teringat apa yang telah terjadi hari ini, hatiku kembali pedih.
“hatiku terluka karena melukai seseorang yang sangat kucintai. Tapi aku juga tak yakin akan tetap tegar jika terus bersamanya. Dia juga telah membuatku terluka karena sikapnya…” air mataku menetes.
“apa kau merasa sendiri?”
“apa? Tentu saja… Hatiku benar-benar pedih karena hal ini…” isakku.
“kau melupakan satu hal”
“apa?”
“Tuhanmu” ucapkanya jelas. Aku kembali memandangnya. Demi segala yang menciptakan keindahan disudut mataku, aku nyaris melupakanNya…
“Astagfirullah…” rintihku.
“seseorang hadir di hidupmu karena sebuah alasan. Mereka datang menawarkan kebahagiaan dan juga kekecewaan. Ada yang hanya sesaat, namun ada pula yang setiap saat. Mereka datang silih berganti, meninggalkan kasih, terkadang perih. Namun percayalah…akan ada seseorang yang datang dan menetap sepanjang masa hidupmu. Tuhanmu sengaja membiarkanmu bertemu dengan beberapa orang yang salah, sebelum akhirnya mempertemukanmu dengan orang yang tepat. Agar kau bisa mensyukuri segala karunia yang diberikan olehNya…” hatiku tertegun mendengarnya. Seakan kata-kata itu berasal dari hatiku sendiri.
“aku bodoh…sangat…” keluhku. Berusaha menghapus air mata dipipiku. Benar, selama ini aku tak pernah mensyukuri apa yang telah diberikanNya untukku, untuk hatiku, dan untuk kebahagiaanku. Selama ini aku telalu bodoh untuk mau mengerti, mengira yang ada dalam hidupku hanyalah kepedihan semata. Aku pernah bahagia, jauh sebelum ini semua terjadi. Namun ketika kebahagiaan itu perlahan pudar dari kehidupanku, tak pernah mau kuakui bahwa kebahagiaan itu memang pernah ada. Aku sungguh terlalu naïf…
“sadarkah kau, bahwa ada seseorang yang jauh lebih menderita dari pada penderitaanmu. Tuhan tidak memberi apa yang kau harapkan, tapi Dia memberikan apa yang kau butuhkan. Kadang kau merasa sedih, kecewa, dan terluka. Tetapi jauh di atas itu semua Dia sedang merajut yang terbaik untuk kehidupanmu…”
“aku mengerti sekarang…” tangisku telah reda, meski suaraku masih terdengar parau.
“syukurlah…”
“emm, bulan?” panggilku.
“ya?”
“siapa kau sebenarnya?” tanyaku lagi. “kau bukanlah bulan, kau… siapa? Atau apa?” ulangku.
“aku bulan. Kalau kau sedang berbicara pada bulan. Dan aku bisa juga bisa menjadi angin, kalau kau sedang berbisik padanya…”
“aku tak mengerti penjelasanmu itu” ucapku jujur.
“dalam istilah lain bisa dikatakan, bahwa aku adalah suara dalam hatimu” aku termenung mendengarnya. Sekarang semua mulai tampak meyakinkan.
“nah…aku memang sudah gila bukan?” tanyaku ragu, tidak, aku tidak ragu, aku memang benar-benar sudah gila…
“kau tidak gila bodoh” suara lembut itu tertawa. Aku bisa mendengarnya tertawa nyaring, ah bukan, aku bisa merasakan tawanya.
“apa…kau adalah ilusiku?” tanyaku lagi, kali ini ada nada panik dalam suaraku.
“sudahlah…terserah bagaimana kau mengartikannya… Yang jelas, mulai sekarang tumbuhkan kepercayaan dalam hatimu, bahwa kau tidaklah sendiri hidup di dunia ini. oke?”
“tapi…”
“ah kau terlalu banyak berargumen… diamlah dan tataplah bulan yang tengah tersenyum kepadamu itu” tegasnya. Aku menurut dan kembali memandang bulan yang semakin larut, cahayanya semakin terang.
“apa menurutmu bulan itu memang benar-benar tersenyum padaku?” tanyaku, namun kali ini suara lembut itu tidak menjawab. “hey, aku bicara padamu…” tetap hening. Kuhembuskan nafas panjang dan tersenyum. Keanehan malam ini membuatku bahagia. Aku menyerah untuk mencoba bicara pada suara lembut itu lagi, dan beranjak dari tempatku berbaring. Angin malam kembali menerpa lembut wajahku, mengibarkan ujung kerudungku. Kuhirup dalam-dalam udara malam yang ( dalam aturan biologi sangat tidak baik untuk kesehatan karena banyak mengandung CO2 ) terasa segar. Kemudian bergegas melangkah masuk kembali.
“baiklah malam, bulan, bintang, langit, angin… Selamat tidur… sudah cukup kepedihan untuk malam ini. Terimakasih telah setia menemaniku…” sapaku sambil menutup pintu rumahku.
“selamat tidur…”
By : Ai Lynn
tulisan ini terinspirasi dari Aulia Suri Agung, "terimakasih atas dukungan kamu lia... :)"
“hai bulan… malam ini aku mmerindukanmu…” sapaku pelan. Aku tersenyum pada bulan, berharap dia bisa membalas sapaanku, meski hanya sekedar tersenyum.
“hai juga…”
Aku terlonjak mendengar suara barusan, berusaha mencari tahu dimana sumber suara itu berasal. Namun nihil, aku tak menemukan siapapun disekitarku selain rumput-rumput yang bergoyang ditiup angin dan siluet lampu kamarku yang masih menyala.
“siapa kau?” tanyaku ragu.
“aku bulan” lagi-lagi suara itu membalas. Aku melirik bulan yang bersinar semakin terang di atas kepalaku. Mungkinkah?
“apa? Kau… benar-benar bulan? Apa kau benar-benar bisa mendengarku?” aku semakin tak bisa mempercayai apa yang sedang terjadi. Namun ketika aku merasa ini hanyalah ilusiku semata, suara itu kembali terdengar jelas.
“tentu saja. Menurutmu siapa aku?” suara itu adalah suara paling lembut yang pernah aku dengar seumur hidupku. Anehnya, aku sama sekali tak merasa takut dengan kehadiran suara misterius itu.
“kau membuatku ragu…” lirihku jujur.
“benarkah? Coba lihat aku” perintahnya. Aku menurut dan menengadah untuk menatap bulan lebih seksama. Cahayanya berpendar terang sekali, seakan bulan itu mengerti aku sedang menatapnya.
“aku memang mengerti”
“apa? Aku belum mengatakan itu padamu…” protesku.
“tak perlu, aku bisa membaca pikiranmu” belum sempat aku menemukan jawaban dalam kepalaku tentang siapa pemilik suara itu, dia telah mengatakan hal yang semakin membuat otakku terkuras.
“baiklah aku menyerah… aku percaya bahwa kau memang benar-benar bulan” ungkapku. Meski keraguan itu belum sepenuhnya hilang, tapi apa yang aku dengar memang benar-benar riil terjadi.
“ya, aku bulan”
“hmmm… jadi tolong jelaskan padaku, kenapa selama ini kau tak pernah membalas semua yang aku katakan padamu sebelum malam ini? Hey, sekarang aku jadi merasa seperti orang bodoh…” benar, selama ini aku pikir aku benar-benar sudah gila karena sering berharap bulan mendengarku dengan mencoba bicara padanya.
“maaf… aku hanya ingin tahu berapa lama kau bertahan melakukan itu. Kau tahu, kau orang pertama yang mengajakku bicara, dan juga pertama kalinya aku mencoba bicara pada anak hawa”
“wah… ada banyak hal di dunia ini yang terjadi diluar kemampuan nalar manusia ya. Sejujurnya, aku selalu bicara pada semua hal yang dianggap orang lain adalah benda mati. Aku tak peduli mereka menyebutku gila jika pada akhirnya tahu bagaimana kebiasaanku. Hahaha… terkadang itu kulakukan hanya untuk menghibur diri…”
“hahaha? Apa tertawamu selalu seperti itu? Aku tak melihat ada perubahan dalam suara tawamu sejak pertama kali kau bicara padaku. Datar, kosong, tak bernyawa” jelasnya.
“benarkah? Aku tak pernah menyadarinya sama sekali…” jawabku manggut-manggut.
“begitulah. Mengapa kau tak menceritakan masalahmu hari ini? bukankah selalu ada yang kau keluhkan padaku setiap malam?” aku berhenti memandang bulan dan mengarahkan kepalaku kesamping. Teringat apa yang telah terjadi hari ini, hatiku kembali pedih.
“hatiku terluka karena melukai seseorang yang sangat kucintai. Tapi aku juga tak yakin akan tetap tegar jika terus bersamanya. Dia juga telah membuatku terluka karena sikapnya…” air mataku menetes.
“apa kau merasa sendiri?”
“apa? Tentu saja… Hatiku benar-benar pedih karena hal ini…” isakku.
“kau melupakan satu hal”
“apa?”
“Tuhanmu” ucapkanya jelas. Aku kembali memandangnya. Demi segala yang menciptakan keindahan disudut mataku, aku nyaris melupakanNya…
“Astagfirullah…” rintihku.
“seseorang hadir di hidupmu karena sebuah alasan. Mereka datang menawarkan kebahagiaan dan juga kekecewaan. Ada yang hanya sesaat, namun ada pula yang setiap saat. Mereka datang silih berganti, meninggalkan kasih, terkadang perih. Namun percayalah…akan ada seseorang yang datang dan menetap sepanjang masa hidupmu. Tuhanmu sengaja membiarkanmu bertemu dengan beberapa orang yang salah, sebelum akhirnya mempertemukanmu dengan orang yang tepat. Agar kau bisa mensyukuri segala karunia yang diberikan olehNya…” hatiku tertegun mendengarnya. Seakan kata-kata itu berasal dari hatiku sendiri.
“aku bodoh…sangat…” keluhku. Berusaha menghapus air mata dipipiku. Benar, selama ini aku tak pernah mensyukuri apa yang telah diberikanNya untukku, untuk hatiku, dan untuk kebahagiaanku. Selama ini aku telalu bodoh untuk mau mengerti, mengira yang ada dalam hidupku hanyalah kepedihan semata. Aku pernah bahagia, jauh sebelum ini semua terjadi. Namun ketika kebahagiaan itu perlahan pudar dari kehidupanku, tak pernah mau kuakui bahwa kebahagiaan itu memang pernah ada. Aku sungguh terlalu naïf…
“sadarkah kau, bahwa ada seseorang yang jauh lebih menderita dari pada penderitaanmu. Tuhan tidak memberi apa yang kau harapkan, tapi Dia memberikan apa yang kau butuhkan. Kadang kau merasa sedih, kecewa, dan terluka. Tetapi jauh di atas itu semua Dia sedang merajut yang terbaik untuk kehidupanmu…”
“aku mengerti sekarang…” tangisku telah reda, meski suaraku masih terdengar parau.
“syukurlah…”
“emm, bulan?” panggilku.
“ya?”
“siapa kau sebenarnya?” tanyaku lagi. “kau bukanlah bulan, kau… siapa? Atau apa?” ulangku.
“aku bulan. Kalau kau sedang berbicara pada bulan. Dan aku bisa juga bisa menjadi angin, kalau kau sedang berbisik padanya…”
“aku tak mengerti penjelasanmu itu” ucapku jujur.
“dalam istilah lain bisa dikatakan, bahwa aku adalah suara dalam hatimu” aku termenung mendengarnya. Sekarang semua mulai tampak meyakinkan.
“nah…aku memang sudah gila bukan?” tanyaku ragu, tidak, aku tidak ragu, aku memang benar-benar sudah gila…
“kau tidak gila bodoh” suara lembut itu tertawa. Aku bisa mendengarnya tertawa nyaring, ah bukan, aku bisa merasakan tawanya.
“apa…kau adalah ilusiku?” tanyaku lagi, kali ini ada nada panik dalam suaraku.
“sudahlah…terserah bagaimana kau mengartikannya… Yang jelas, mulai sekarang tumbuhkan kepercayaan dalam hatimu, bahwa kau tidaklah sendiri hidup di dunia ini. oke?”
“tapi…”
“ah kau terlalu banyak berargumen… diamlah dan tataplah bulan yang tengah tersenyum kepadamu itu” tegasnya. Aku menurut dan kembali memandang bulan yang semakin larut, cahayanya semakin terang.
“apa menurutmu bulan itu memang benar-benar tersenyum padaku?” tanyaku, namun kali ini suara lembut itu tidak menjawab. “hey, aku bicara padamu…” tetap hening. Kuhembuskan nafas panjang dan tersenyum. Keanehan malam ini membuatku bahagia. Aku menyerah untuk mencoba bicara pada suara lembut itu lagi, dan beranjak dari tempatku berbaring. Angin malam kembali menerpa lembut wajahku, mengibarkan ujung kerudungku. Kuhirup dalam-dalam udara malam yang ( dalam aturan biologi sangat tidak baik untuk kesehatan karena banyak mengandung CO2 ) terasa segar. Kemudian bergegas melangkah masuk kembali.
“baiklah malam, bulan, bintang, langit, angin… Selamat tidur… sudah cukup kepedihan untuk malam ini. Terimakasih telah setia menemaniku…” sapaku sambil menutup pintu rumahku.
“selamat tidur…”
By : Ai Lynn
tulisan ini terinspirasi dari Aulia Suri Agung, "terimakasih atas dukungan kamu lia... :)"
0 komentar:
Posting Komentar