“kenapa? Bukankah itu hal yang bagus?” aku mengerutkan keningku. Namun dia hanya mengangkat bahunya dan kembali tersenyum.
“sudahlah… Hey, ini sudah larut malam, lebih baik kau pulang”
“dan meninggalkan ibu sendiri disini? Tidak akan.” Jawabku jelas. “aku akan tidur di…”
“kau perlu menyiapkan segala sesuatunya, juga kebutuhan ibumu. Pulanglah, biar aku yang menjaganya” aku memandang mata Reihan, ada ketulusan dalam raut wajahnya. Sebelumnya aku tak bisa mempercayai laki-laki, apalagi setelah tahu apa yang telah dilakukan ayah terhadap ibu. Namun entah mengapa aku menaruh kepercayaan kecil padanya, pada Reihan. “pulanglah… lihat rambutmu, kau bahkan lebih parah dari pasien-pasien disini” Raihan tertawa. Aku tersadar, rambutku! Aku tak memakai jilbab sewaktu kesini. Reflek aku menutupi kepalaku dengan kedua tangan.
“ah…aku lupa…” lirihku. Aku benar-benar malu, bagaimana aku bisa pulang dalam keadaan seperti ini?
“pakai ini” Reihan mengulurkan selembar kain padaku. Dia mengerti apa yang tengah aku pikirkan. Tanpa bertanya lagi aku mengambil kain itu dan membentuknya sedemikian rupa hingga menutupi rambutku dengan aman. Setelah itu Reihan berdiri dan mencari sesuatu dari bawah ranjangnya dan mengeluarkan jaket, sandal, juga beberapa lembar uang dari saku piamanya. “ambil ini, dan ini (menyerahkan uang padaku) kau tak perlu berlari lagi kembali ke rumah. Oke?” cengirnya.
“kau… mengapa…”
“jangan bertanya lagi dan cepatlah pulang. Kau berani pulang sendiri kan?” Reihan memotong kalimatku.
“tentu saja. Baiklah, aku pulang… Terimakasih Reihan, aku akan kembali sebelum matahari terbit” aku membalas senyumannya, dan melangkah keluar kamar. Aku percaya padanya…
Esoknya,
“bangun” aku mendengar suara Reihan, dan mengerjapkan mata beberapa kali. Kuamati ruangan disekitarku, dan juga ibu yang sedang ternyenyak dihadapanku.
“jam berapa sekarang?” tanyaku sambil menguap. “ah, apakah ibu belum sadar juga?”
“setengah lima pagi. Belum, tapi sepertinya ibumu sudah lebih baik” Reihan memakai peci dan sarung. Aku mengamatinya sejenak, raut wajahnya nampak sangat lembut. “kau belum sholat kan? Diujung koridor sana ada mushola” ucapnya ringan.
“kau…habis sholat subuh? Tapi bagaimana…” pandanganku tertuju pada lengan kirinya yang terlilit selang infuse. Reihan tersenyum melihat ekspresiku.
“tayamum. Sholat sambil duduk. Bagian mana lagi yang membuatmu bingung?”
“oh…” aku tersipu malu, aku sadar pertanyaanku tadi seperti seorang mu’alaf yang baru kemarin memeluk Islam. “emm, aku sholat disini saja, aku ingin tetap disamping ibu” kataku. Reihan hanya mengedikkan bahu dan naik ke tempat tidurnya untuk membaca buku.
Setelah selesai sholat dan melipat mukenah, aku kembali duduk di samping ibu dan kembali menggenggam tangannya. Meski raut wajah ibu sudah tak sepucat tadi malam, tetap saja wajah itu memancarkan kegelisahan di dalamnya.
“ibu… sebentar lagi matahari terbit, cahayanya pasti indah sekali…” ucapku pada ibu. “bangunlah bu… aku ingin menikmati fajar bersama ibu…” lanjutku sedih.
“beliau sedang tidur” jawab Reihan singkat. Aku melirik kesal ke arahnya, kemudian berpaling lagi dan melanjutkan ucapanku.
“ibu… aku merindukanmu…” lirihku. “Cepatlah sembuh, aku akan membuatkan teh kesukaan ibu bila kita pulang nanti. Bagaimana?”
“kelihatannya enak…” Reihan bergumam sambil terus membaca bukunya. Aku tak menghiraukannya dan pura-pura tak mendengarnya.
“hmm… udara pagi ini sepertinya segar sekali, andai saja aku bisa jalan-jalan bersama ibu pagi ini…” aku mencoba menghirup udara dalam-dalam, namun yang tercium olehku hanyalah aroma obat yang menyengat hidung.
“aku tak keberatan menemanimu jalan-jalan” jawab Reihan dari balik bukunya.
“tak ada yang memintamu melakukan itu. Huh, tidak bisakah kau diam dan membiarkan aku berbicara pada ibu?” tanyaku ketus. Reihan memandangku dan meletakkan buku yang dibacanya.
“maaf. Tidak bisakah kau menghormati orang yang sedang tidur dan menghargai seseorang yang terjaga di dekatmu?” Reihan balik bertanya.
“kau… sudahlah. Habis aku harus gimana lagi dong? Aku frustasi karena ibu sakit, dan kau semakin membuatku merasa aneh sekarang”
“percayakan semuanya pada Allah, bukankah tadi kau sudah sholat subuh? Percayalah Allah akan selalu melindungi beliau” Reihan tersenyum lagi. Dia benar, kegelisahanku ini mungkin akan membuat ibu semakin resah.
“tapi tak ada salahnya mencoba berbicara padanya bukan?” ungkapku. Suasana hening sejenak, dari jauh bisa kudengar kicauan burung yang baru keluar dari sarangnya. “emm, Reihan?” tanyaku.
“ya?”
“kau sakit apa?” aku melanjutkan kata-kataku dengan ragu, aku terlalu penasaran untuk tidak bertanya tentang hal ini.
“apa kau perlu tau?” tanyanya singkat.
“apa? Tentu saja…” kupandangi wajah Reihan yang sekarang terlihat pucat. Dia menundukkan wajahnya, sehingga aku tak dapat melihat ekspresinya dengan jelas. Namun tiba-tiba saja Reihan mengangkat wajahnya dan tersenyum.
“hey, aku belum tahu siapa namamu?” dia mengalihkan pembicaraan, jadi lebih baik aku tidak mengungkitnya lagi. Karena sepertinya dia tak ingin aku mengetahui itu.
“Ailyn. Emm, coba kamu buka tirai jendela itu, matahari sepertinya telah terbit” aku menunjuk ke arah jendela yang tertutup tirai di samping tempat tidur Reihan. Benar, matahari telah terbit.
Kupandangi kilau cahaya itu, merahnya benar-benar indah. Sepertinya langit akan baik-baik saja hari ini, karena tak Nampak ada sedikitpun awan yang menutupinya. Aku memandang Reihan yang juga tengah menatap matahari. Dari sorot matanya, terlihat kerinduan yang nyata, juga kepedihan. Namun kemudian dia tersenyum dan balik menatapku.
“Lyn, ada yang ingin kutanyakan padamu” kata Reihan pelan. Aku hanya mengangguk dan menunggunya melanjutkan kata-katanya. “apa makna keluarga bagimu?” lanjutnya. Aku menatapnya lebih seksama, dan melihat keseriusan dalam ucapannya. Mengapa dia menanyakan hal seperti itu?
“keluarga adalah segalanya bagiku. Tapi karena suatu hal, satu-satunya keluarga yang ku miliki adalah ibu…” jawabku lirih. Kemudian aku menceritakan pada Reihan tentang bagaimana kehidupanku bersama mereka yang dulunya kusebut keluarga. Tentang bagaimana ayah meninggalkan kami dan memahat luka begitu dalam dihati ibu dan anak-anaknya. Tentang perjuangan ibu menafkahi kami dalam penderitaan yang luar biasa, agar kami tetap bisa bersekolah. “ibu mengalami depresi dan jiwanya terguncang sejak kepergian ayah…” aku tak mampu menahan air mata.
“kau bilang kami? Kau punya saudara?”
“ya, adik laki-laki. Dan dia sedang menjaga rumah sekarang” jelasku. Reihan menghembuskan nafas panjang sambil tetap memandang ke arahku. Sebelum aku sempat bertanya apapun pada Reihan, aku mendengar suara ibu merintih memanggil namaku. “ibu? Ibu sudah sadar?” tanyaku cemas. Kulihat mata ibu yang perlahan-lahan membuka. Bibirnya bergetar dan hembusan nafasnya begitu lemah. Kecengkeram erat tangan kanan ibu dan menciumnya.
“Ailyn…” panggilnya lemah.
“ya, ibu. Aku disini…” senyuman merekah dari sudut bibirku. Aku merasakan hangat matahari mulai merambah ke ruangan putih ini. Reihan bangkit dari tempat tidurnya dan menghampiriku dengan membawa selang infuse bersamanya.
“maafkan ibu nak…” air mata ibu terjatuh ketika mengatakan itu. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku.
“tidak ibu. Sudah jangan bicara lagi, apakah ibu sudah merasa baikkan?” tanyaku lembut. Ibu hanya mengangguk lemah dan menyakan padaku apa yang sebenarnya terjadi. “kemarin malam ibu pingsan didekat rumah tante Nia. Dan tante Nia bilang ia membawa ibu kemari dengan ambulan. Ibu, ada apa dengan ibu? Tolong bicaralah padaku bu…”
“ibu baik-baik saja nak… maaf, ibu tak bisa menjadi orang tua yang baik untukmu…” ibu terisak semakin keras.
“tolong jangan minta maaf lagi bu, katakan padaku, semalam ibu pergi kemana?”
“ibu… pergi menemui ayahmu” lirih ibu. Aku memejamkan mataku untuk meredam sakit yang muncul tanpa alasan di ulu hatiku. “untuk meminta pertanggung jawabannya atas kalian berdua. Tapi…tapi…”
“sudah jangan dilanjutkan bu. Aku mohon, untuk yang terakhir kalinya ibu… Jangan pernah pergi ke rumah ayah untuk menemuinya lagi…” aku memeluk ibu yang gemetar karena tangisannya. “biarkan ayah bahagia dengan jalan yang telah dipilihnya. Ikhlaskan ayah… Yang aku butuhkan sekarang adalah ibu, jadi aku mohon…jangan pernah melakukan hal seperti itu lagi. Aku baik-baik saja tanpa ayah, bu. Tapi aku tak yakin akan tetap tegar jika tanpa ibu…”
“terimakasih sayang… Bisakah kita pulang sekarang? Ibu ingin pulang dan meminum teh buatanmu…” ibu tersenyum. Segala resah yang kurasakan beberapa detik lalu terhapus oleh senyumannya. Tak ada yang lebih aku inginkan sekarang selain melihat ibu tersenyum. Kemudian aku ingat, Reihan. Kulihat sekelilingku, kemana dia?
“kalau begitu tunggu sebentar bu, aku akan mengurus biaya administrasinya” ibu mengangguk, dan aku keluar. Sepanjang koridor aku berusaha mencari keberadaan Reihan, namun tak dapat menemukan dimana dia. Setelah selesai dengan biaya administrasi perawatan ibu, aku sengaja berjalan kembali melewati taman sebelum koridor yang menuju ke ruangan ibu. Dan aku menemukannya, kulihat Reihan duduk dibangku ditengah-tengah taman dan… sepertinya dia sedang berbicara pada bunga.
Kuhampiri bangku itu dan duduk di sampingnya. Reihan tersenyum ketika melihatku.
“hai” sapanya.
“hai. Kenapa kau tiba-tida menghilang dan ada disini?” tanyaku heran.
“aku hanya tak ingin mengganggu pembicaraanmu dengan ibumu. Bagaimana keadaannya? Apa sudah baikan?”
“ya” jawabku, sambil mengamati bunga yang dipegang Reihan ditangan kanannya. “bunga apa itu?”
“oh ini? Ini kriysan. Indah bukan?” Reihan memperlihatkan bunga berwarna jingga padaku. Aku mengambil bunga itu dan menciumnya. Tak ada wanginya sama sekali. “memang tidak sewangi mawar, tapi aku lebih suka bunga ini dari bunga apapun…” ungkapnya. Baru kali ini aku melihat laki-laki yang menyukai bunga, namun entah mengapa, itu tak membuatnya terlihat aneh sama sekali. Bukankah setiap orang berhak untuk menyukainya?
“Re… aku akan pulang pagi ini” lirihku. Aku tak mengerti apa yang membuatku berat mengatakan ini padanya. Mungkin karena Reihan telah banyak membantuku selama ini.
“bagitu ya… Baiklah, hati-hati” kata-kata Reihan benar-benar datar, dan dia kembali menatap bunga-bunga kriysan itu.
“sebenarnya… apa yang terjadi denganmu? Ada banyak pertanyaan di otakku tentangmu…” tanyaku ragu.
“kurasa aku akan pulang setelah ini. Aku merasa sudah lebih baik sejak bertemu denganmu” jawabnya. Reihan kembali memandangku. “Ailyn… bisakah kita bertemu lagi?”
“emm, tentu saja, jika kau masih tetap disini. Aku akan sering-sering menjengukmu kemari. Oh ya, kapan kau pulang? Aku akan membantumu jika tak ada keluargamu yang datang untuk menjemputmu” aku menilik ekspresi Reihan saat mendengar kata-kataku.
“benarkah kau akan kembali kesini lagi? Ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu…” aku bisa melihat pandangan berharap dari sorot matanya. Aku tersenyum dan tanpa sadar tanganku memegang pundak Reihan.
“benar. Tunggu aku ya…” jawabku akhirnya. setelah itu aku berjalan bersama Reihan menuju ke ruangan tempatnya dan ibu dirawat. Ketika datang, ruangan itu telah rapi dan ibu juga telah memakai baju yang kubawakan untuknya semalam. Aku mengenalkan Reihan pada ibu. Ibu sepertinya terlihat senang dengan sikap Reihan yang ramah.
Aku berjanji pada Reihan untuk datang menemuinya besok, dan ibu mengizinkanku melakukan itu. Sebelum melangkah keluar ruangan menyusul ibu, Reihan memberikan sesuatu padaku. Dia membuat rangkaian bunga-bunga kriysan dan membentuknya menjadi hiasan kepala.
“aku akan menunggumu” ucapnya, seraya melambai padaku ketika aku meninggalkan ruangan itu. Hatiku sudah jauh lebih baik dari pada sebelumnya, apa mungkin ini semua karena Reihan? Sepertinya… aku telah jatuh cinta padanya dalam pertemuan yang singkat ini…
By: Ai Lynn
“sudahlah… Hey, ini sudah larut malam, lebih baik kau pulang”
“dan meninggalkan ibu sendiri disini? Tidak akan.” Jawabku jelas. “aku akan tidur di…”
“kau perlu menyiapkan segala sesuatunya, juga kebutuhan ibumu. Pulanglah, biar aku yang menjaganya” aku memandang mata Reihan, ada ketulusan dalam raut wajahnya. Sebelumnya aku tak bisa mempercayai laki-laki, apalagi setelah tahu apa yang telah dilakukan ayah terhadap ibu. Namun entah mengapa aku menaruh kepercayaan kecil padanya, pada Reihan. “pulanglah… lihat rambutmu, kau bahkan lebih parah dari pasien-pasien disini” Raihan tertawa. Aku tersadar, rambutku! Aku tak memakai jilbab sewaktu kesini. Reflek aku menutupi kepalaku dengan kedua tangan.
“ah…aku lupa…” lirihku. Aku benar-benar malu, bagaimana aku bisa pulang dalam keadaan seperti ini?
“pakai ini” Reihan mengulurkan selembar kain padaku. Dia mengerti apa yang tengah aku pikirkan. Tanpa bertanya lagi aku mengambil kain itu dan membentuknya sedemikian rupa hingga menutupi rambutku dengan aman. Setelah itu Reihan berdiri dan mencari sesuatu dari bawah ranjangnya dan mengeluarkan jaket, sandal, juga beberapa lembar uang dari saku piamanya. “ambil ini, dan ini (menyerahkan uang padaku) kau tak perlu berlari lagi kembali ke rumah. Oke?” cengirnya.
“kau… mengapa…”
“jangan bertanya lagi dan cepatlah pulang. Kau berani pulang sendiri kan?” Reihan memotong kalimatku.
“tentu saja. Baiklah, aku pulang… Terimakasih Reihan, aku akan kembali sebelum matahari terbit” aku membalas senyumannya, dan melangkah keluar kamar. Aku percaya padanya…
Esoknya,
“bangun” aku mendengar suara Reihan, dan mengerjapkan mata beberapa kali. Kuamati ruangan disekitarku, dan juga ibu yang sedang ternyenyak dihadapanku.
“jam berapa sekarang?” tanyaku sambil menguap. “ah, apakah ibu belum sadar juga?”
“setengah lima pagi. Belum, tapi sepertinya ibumu sudah lebih baik” Reihan memakai peci dan sarung. Aku mengamatinya sejenak, raut wajahnya nampak sangat lembut. “kau belum sholat kan? Diujung koridor sana ada mushola” ucapnya ringan.
“kau…habis sholat subuh? Tapi bagaimana…” pandanganku tertuju pada lengan kirinya yang terlilit selang infuse. Reihan tersenyum melihat ekspresiku.
“tayamum. Sholat sambil duduk. Bagian mana lagi yang membuatmu bingung?”
“oh…” aku tersipu malu, aku sadar pertanyaanku tadi seperti seorang mu’alaf yang baru kemarin memeluk Islam. “emm, aku sholat disini saja, aku ingin tetap disamping ibu” kataku. Reihan hanya mengedikkan bahu dan naik ke tempat tidurnya untuk membaca buku.
Setelah selesai sholat dan melipat mukenah, aku kembali duduk di samping ibu dan kembali menggenggam tangannya. Meski raut wajah ibu sudah tak sepucat tadi malam, tetap saja wajah itu memancarkan kegelisahan di dalamnya.
“ibu… sebentar lagi matahari terbit, cahayanya pasti indah sekali…” ucapku pada ibu. “bangunlah bu… aku ingin menikmati fajar bersama ibu…” lanjutku sedih.
“beliau sedang tidur” jawab Reihan singkat. Aku melirik kesal ke arahnya, kemudian berpaling lagi dan melanjutkan ucapanku.
“ibu… aku merindukanmu…” lirihku. “Cepatlah sembuh, aku akan membuatkan teh kesukaan ibu bila kita pulang nanti. Bagaimana?”
“kelihatannya enak…” Reihan bergumam sambil terus membaca bukunya. Aku tak menghiraukannya dan pura-pura tak mendengarnya.
“hmm… udara pagi ini sepertinya segar sekali, andai saja aku bisa jalan-jalan bersama ibu pagi ini…” aku mencoba menghirup udara dalam-dalam, namun yang tercium olehku hanyalah aroma obat yang menyengat hidung.
“aku tak keberatan menemanimu jalan-jalan” jawab Reihan dari balik bukunya.
“tak ada yang memintamu melakukan itu. Huh, tidak bisakah kau diam dan membiarkan aku berbicara pada ibu?” tanyaku ketus. Reihan memandangku dan meletakkan buku yang dibacanya.
“maaf. Tidak bisakah kau menghormati orang yang sedang tidur dan menghargai seseorang yang terjaga di dekatmu?” Reihan balik bertanya.
“kau… sudahlah. Habis aku harus gimana lagi dong? Aku frustasi karena ibu sakit, dan kau semakin membuatku merasa aneh sekarang”
“percayakan semuanya pada Allah, bukankah tadi kau sudah sholat subuh? Percayalah Allah akan selalu melindungi beliau” Reihan tersenyum lagi. Dia benar, kegelisahanku ini mungkin akan membuat ibu semakin resah.
“tapi tak ada salahnya mencoba berbicara padanya bukan?” ungkapku. Suasana hening sejenak, dari jauh bisa kudengar kicauan burung yang baru keluar dari sarangnya. “emm, Reihan?” tanyaku.
“ya?”
“kau sakit apa?” aku melanjutkan kata-kataku dengan ragu, aku terlalu penasaran untuk tidak bertanya tentang hal ini.
“apa kau perlu tau?” tanyanya singkat.
“apa? Tentu saja…” kupandangi wajah Reihan yang sekarang terlihat pucat. Dia menundukkan wajahnya, sehingga aku tak dapat melihat ekspresinya dengan jelas. Namun tiba-tiba saja Reihan mengangkat wajahnya dan tersenyum.
“hey, aku belum tahu siapa namamu?” dia mengalihkan pembicaraan, jadi lebih baik aku tidak mengungkitnya lagi. Karena sepertinya dia tak ingin aku mengetahui itu.
“Ailyn. Emm, coba kamu buka tirai jendela itu, matahari sepertinya telah terbit” aku menunjuk ke arah jendela yang tertutup tirai di samping tempat tidur Reihan. Benar, matahari telah terbit.
Kupandangi kilau cahaya itu, merahnya benar-benar indah. Sepertinya langit akan baik-baik saja hari ini, karena tak Nampak ada sedikitpun awan yang menutupinya. Aku memandang Reihan yang juga tengah menatap matahari. Dari sorot matanya, terlihat kerinduan yang nyata, juga kepedihan. Namun kemudian dia tersenyum dan balik menatapku.
“Lyn, ada yang ingin kutanyakan padamu” kata Reihan pelan. Aku hanya mengangguk dan menunggunya melanjutkan kata-katanya. “apa makna keluarga bagimu?” lanjutnya. Aku menatapnya lebih seksama, dan melihat keseriusan dalam ucapannya. Mengapa dia menanyakan hal seperti itu?
“keluarga adalah segalanya bagiku. Tapi karena suatu hal, satu-satunya keluarga yang ku miliki adalah ibu…” jawabku lirih. Kemudian aku menceritakan pada Reihan tentang bagaimana kehidupanku bersama mereka yang dulunya kusebut keluarga. Tentang bagaimana ayah meninggalkan kami dan memahat luka begitu dalam dihati ibu dan anak-anaknya. Tentang perjuangan ibu menafkahi kami dalam penderitaan yang luar biasa, agar kami tetap bisa bersekolah. “ibu mengalami depresi dan jiwanya terguncang sejak kepergian ayah…” aku tak mampu menahan air mata.
“kau bilang kami? Kau punya saudara?”
“ya, adik laki-laki. Dan dia sedang menjaga rumah sekarang” jelasku. Reihan menghembuskan nafas panjang sambil tetap memandang ke arahku. Sebelum aku sempat bertanya apapun pada Reihan, aku mendengar suara ibu merintih memanggil namaku. “ibu? Ibu sudah sadar?” tanyaku cemas. Kulihat mata ibu yang perlahan-lahan membuka. Bibirnya bergetar dan hembusan nafasnya begitu lemah. Kecengkeram erat tangan kanan ibu dan menciumnya.
“Ailyn…” panggilnya lemah.
“ya, ibu. Aku disini…” senyuman merekah dari sudut bibirku. Aku merasakan hangat matahari mulai merambah ke ruangan putih ini. Reihan bangkit dari tempat tidurnya dan menghampiriku dengan membawa selang infuse bersamanya.
“maafkan ibu nak…” air mata ibu terjatuh ketika mengatakan itu. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku.
“tidak ibu. Sudah jangan bicara lagi, apakah ibu sudah merasa baikkan?” tanyaku lembut. Ibu hanya mengangguk lemah dan menyakan padaku apa yang sebenarnya terjadi. “kemarin malam ibu pingsan didekat rumah tante Nia. Dan tante Nia bilang ia membawa ibu kemari dengan ambulan. Ibu, ada apa dengan ibu? Tolong bicaralah padaku bu…”
“ibu baik-baik saja nak… maaf, ibu tak bisa menjadi orang tua yang baik untukmu…” ibu terisak semakin keras.
“tolong jangan minta maaf lagi bu, katakan padaku, semalam ibu pergi kemana?”
“ibu… pergi menemui ayahmu” lirih ibu. Aku memejamkan mataku untuk meredam sakit yang muncul tanpa alasan di ulu hatiku. “untuk meminta pertanggung jawabannya atas kalian berdua. Tapi…tapi…”
“sudah jangan dilanjutkan bu. Aku mohon, untuk yang terakhir kalinya ibu… Jangan pernah pergi ke rumah ayah untuk menemuinya lagi…” aku memeluk ibu yang gemetar karena tangisannya. “biarkan ayah bahagia dengan jalan yang telah dipilihnya. Ikhlaskan ayah… Yang aku butuhkan sekarang adalah ibu, jadi aku mohon…jangan pernah melakukan hal seperti itu lagi. Aku baik-baik saja tanpa ayah, bu. Tapi aku tak yakin akan tetap tegar jika tanpa ibu…”
“terimakasih sayang… Bisakah kita pulang sekarang? Ibu ingin pulang dan meminum teh buatanmu…” ibu tersenyum. Segala resah yang kurasakan beberapa detik lalu terhapus oleh senyumannya. Tak ada yang lebih aku inginkan sekarang selain melihat ibu tersenyum. Kemudian aku ingat, Reihan. Kulihat sekelilingku, kemana dia?
“kalau begitu tunggu sebentar bu, aku akan mengurus biaya administrasinya” ibu mengangguk, dan aku keluar. Sepanjang koridor aku berusaha mencari keberadaan Reihan, namun tak dapat menemukan dimana dia. Setelah selesai dengan biaya administrasi perawatan ibu, aku sengaja berjalan kembali melewati taman sebelum koridor yang menuju ke ruangan ibu. Dan aku menemukannya, kulihat Reihan duduk dibangku ditengah-tengah taman dan… sepertinya dia sedang berbicara pada bunga.
Kuhampiri bangku itu dan duduk di sampingnya. Reihan tersenyum ketika melihatku.
“hai” sapanya.
“hai. Kenapa kau tiba-tida menghilang dan ada disini?” tanyaku heran.
“aku hanya tak ingin mengganggu pembicaraanmu dengan ibumu. Bagaimana keadaannya? Apa sudah baikan?”
“ya” jawabku, sambil mengamati bunga yang dipegang Reihan ditangan kanannya. “bunga apa itu?”
“oh ini? Ini kriysan. Indah bukan?” Reihan memperlihatkan bunga berwarna jingga padaku. Aku mengambil bunga itu dan menciumnya. Tak ada wanginya sama sekali. “memang tidak sewangi mawar, tapi aku lebih suka bunga ini dari bunga apapun…” ungkapnya. Baru kali ini aku melihat laki-laki yang menyukai bunga, namun entah mengapa, itu tak membuatnya terlihat aneh sama sekali. Bukankah setiap orang berhak untuk menyukainya?
“Re… aku akan pulang pagi ini” lirihku. Aku tak mengerti apa yang membuatku berat mengatakan ini padanya. Mungkin karena Reihan telah banyak membantuku selama ini.
“bagitu ya… Baiklah, hati-hati” kata-kata Reihan benar-benar datar, dan dia kembali menatap bunga-bunga kriysan itu.
“sebenarnya… apa yang terjadi denganmu? Ada banyak pertanyaan di otakku tentangmu…” tanyaku ragu.
“kurasa aku akan pulang setelah ini. Aku merasa sudah lebih baik sejak bertemu denganmu” jawabnya. Reihan kembali memandangku. “Ailyn… bisakah kita bertemu lagi?”
“emm, tentu saja, jika kau masih tetap disini. Aku akan sering-sering menjengukmu kemari. Oh ya, kapan kau pulang? Aku akan membantumu jika tak ada keluargamu yang datang untuk menjemputmu” aku menilik ekspresi Reihan saat mendengar kata-kataku.
“benarkah kau akan kembali kesini lagi? Ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu…” aku bisa melihat pandangan berharap dari sorot matanya. Aku tersenyum dan tanpa sadar tanganku memegang pundak Reihan.
“benar. Tunggu aku ya…” jawabku akhirnya. setelah itu aku berjalan bersama Reihan menuju ke ruangan tempatnya dan ibu dirawat. Ketika datang, ruangan itu telah rapi dan ibu juga telah memakai baju yang kubawakan untuknya semalam. Aku mengenalkan Reihan pada ibu. Ibu sepertinya terlihat senang dengan sikap Reihan yang ramah.
Aku berjanji pada Reihan untuk datang menemuinya besok, dan ibu mengizinkanku melakukan itu. Sebelum melangkah keluar ruangan menyusul ibu, Reihan memberikan sesuatu padaku. Dia membuat rangkaian bunga-bunga kriysan dan membentuknya menjadi hiasan kepala.
“aku akan menunggumu” ucapnya, seraya melambai padaku ketika aku meninggalkan ruangan itu. Hatiku sudah jauh lebih baik dari pada sebelumnya, apa mungkin ini semua karena Reihan? Sepertinya… aku telah jatuh cinta padanya dalam pertemuan yang singkat ini…
By: Ai Lynn
0 komentar:
Posting Komentar