Kulangkahkan kakiku menuju pemakaman. Sudah lama aku tak mengunjunginya, sudah lebih dari setengah tahun lalu. Pemakaman ini terlihat begitu damai, aku mampu merasakan ketenangan disini. Aroma bunga kamboja berebut masuk menyentuh hidungku, wangi sekali. Tak pernah kurasakan mekarnya sewangi ini sebelumnya. Matahari di ufuk Barat masih memancarkan sinarnya yang kini telah menjadi merah tembaga. Aku berhenti tepat di depan makamnya. Apa tak ada satupun orang yang mengunjunginya sebelum aku? Makam ini tampak sangat kotor dan tak terawat. Nisannya nyaris tertutup lumut dan banyak daun-daun kering menyelimuti tanahnya.
Kuletakkan rangkaian bunga kriysan yang sejak tadi kugenggam erat, disamping makam beserta tas yang kugantungkan dipundak kiriku. Kucabuti satu persatu rumput yang tumbuh subur di atasnya dan menyingkirkan daun-daun kering.
“Assalamu’alaikum… Maaf ya re, baru sekarang aku bisa mengunjungimu. Bagaimana kabarmu?” ucapku. “baik kan? Nah…sekarang sudah bersih. Apa kau merasa nyaman?” Kuambil sebotol air mineral dalam tasku dan menuangkannya di atas makam yang kini telah bersih.
“hey, lihat apa yang kubawakan untukmu. Taadaa…! Bunga kriysan kesukaanmu. Kau pasti senang…” kuletakkan rangkaian bunga itu tepat di depan nisan. “ah aku lupa membersihkan nisannya… Huft, kenapa lumut-lumut ini tumbuh dan menyebar begitu cepat yah…” keluhku muram. Kuambil tisu dalam tasku lagi dan mengusapnya pada nisan hingga tulisan dalam nisan itu terlihat jelas.
“emm… Re… Apa kau pernah patah hati? Maaf yah, aku tak sempat menanyakannya padamu…” kini nisan itu telah benar-benar bersih. “haha… bahkan aku tak pernah mempunyai kesempatan untuk mengungkapkan perasaanku padamu…” aku merasakan air mata mengambang dipelupuk mataku.
“aku mencintai seseorang… tapi sekarang dia juga telah pergi…” lirihku. “tahukah kau bagaimana rasanya ditinggalkan orang yang kita cintai?” aku duduk disamping makam itu dengan menekuk kedua lututku kedada.
“tidak, tidak… Kali ini aku yang membuat keputusan itu. Aku yang meninggalkannya, dia, orang yang kumaksud tadi…” kupandangi makamnya, lama sekali. “dia…ternyata telah mencintai orang lain. Tahukah kau bagaimana rasanya? Rasanya lebih sakit dari pada paku yang tak sengaja bersamaan kita injak didepan rumahmu, ingat?” aku tersenyum mengingat kembali kenangan itu.
“waktu itu aku pikir aku akan mati kehabisan darah. Hahaha…” tawaku. Kini memandang ke arah matahari. “apa tadi aku sudah menyebut namanya? Emm, aku biasa memanggilnya Pangeran Senja. Kau tau, dia juga pernah memanggilku Putri Bintang. Sama seperti sebutanmu padaku dulu”
“tapi dia berbeda denganmu, tentu saja. Kau selalu menghinaku jika aku berkata yang indah-indah tentang langit, tapi dia tidak. Kau sering mentertawakan aku kalau aku berangan-angan tentang bintang, tapi dia tak akan pernah melakukan itu. Hanya saja…dia… Yah, kalian memang berbeda…” entah mengapa air mataku menetes lagi tanpa sebab.
“tapi caranya berbicara sama denganmu. Ah…bahkan senyumannya nyaris seperti senyumanmu!” ungkapku, seraya menghapus air mata dengan lengan bajuku. “bukan begitu… aku tidak sedang membanding-bandingkan dia denganmu kok, kau yang terbaik, tentu saja…” aku merasakan semilir angin yang menyentuh lembut wajahku.
“melupakannya sama mustahilnya dengan aku melupakanmu. Aku tak pernah menceritakan tentangmu dihadapannya. Sepertinya, dia punya luka tentang masa lalunya juga. Tentang seseorang yang dicintainya….” Air mataku kembali menetes. “aku telah menulis surat untuknya sama seperti yang kau tulis untukku sebelum kau pergi dulu. Aku juga bilang bahwa aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamanya…” lirihku sedih.
“lantas mengapa aku memutuskannya? Hehehe… pertanyaanmu itu sulit aku jawab…” mataku sakit akibat terus menerus menatap sinar matahari. “ada hal-hal yang tak bisa aku lakukan untuknya. Ah…bukankah tadi aku bilang dia telah mencintai orang lain? Ya, itu salah satunya…” jawabku ringan.
“tapi aku… hatiku… Entahlah…” aku menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. “rasanya lebih sakit dari pada saat kau meninggalkanku…” kini kubiarkan air mataku tetap mengalir tanpa berusaha menghapusnya. “maafkan aku re… Kan kau yang bilang aku harus tetap berusaha menemukan kebahagiaanku? Itu bukan berarti aku telah melupakanmu… Aku agak sibuk akhir-akhir ini. Dan aku sering membuat keributan dirumah. Habisnya aku bosan disana, tak ada teman bicara, tak ada ibu, tak ada ruang untuk menangis, dan yang paling buruk adalah jauh darimu”
“oleh sebab itu hiburanku hanyalah di sekolah. Aku mengenalnya karena kami ada disatu organisasi. Tapi dia tak seperti organisator pada umumnya, dia lebih suka menyendiri” langit telah berubah menjadi jingga sekarang. “mengapa aku menyebutnya Pangeran Senja? Ya…karena dia sangat menyukai senja. Sama seperti ibu. Haha…”
“andai saja ada jalan untuk melupakannya… Aku tak bisa mencintai orang lain lagi sekarang ini…” isakku. “tapi aku harus. Benar kan? Aku harus melupakannya…” kupandangi batu nisan itu lagi. Tanggal itu… adalah tanggal yang sama ketika aku memutuskan untuk mencintai Pengeran Senja. “ibu salah jika mengatakan bahwa, aku hanya mempunyai dua pilihan tentangnya. Menghilang dari kehidupannya tidak akan menjadi luka dalam hatinya… Dan seandainya saja aku memilih kembali padanya waktu itu, mungkin itu akan semakin menyiksa hatinya. Dia mencintai orang lain… Dan tak semestinya aku menghalang-halangi cintanya, apalagi jika tahu seseorang yang dicintainya adalah orang yang telah kukenal dengan baik. Dia pasti akan bahagia bersamanya…” entah mengapa dadaku sesak ketika mengatakan itu.
“Re… Apakah kematian itu menyakitkan? Aku sering berkhayal bahwa mati sama dengan ketika kita tertidur, hanya saja kau akan terlelap lebih cepat. Bagitukah?” tanyaku, sambil menyentuh batu nisan itu.
“aku merindukanmu…” kataku pelan. “ibu akan kembali dua tahun lagi, begitu dia sampai aku akan segera membawanya kemari. Oke?” aku mengambil tas di sampingku dan berdiri. “ohya, Pangeran itu sangat menyukai bunga anggrek, tak seperti kau yang begitu membencinya. Harusnya kau tak perlu melakukan itu… aku tahu hanya karena kau melihat ibumu memberikan bunga itu kepada laki-laki lain…”
“maaf, tak seharusnya aku bicara begitu. Tapi menurutku anggrek itu indah… hanya saja…” aku kembali memandang matahari. “sudahlah… lain kali akan ku ceritakan untukmu. Kata orang tak baik jika berada di pemakaman hingga matahari terbenam, mungkin alasannya karena banyak hantu. Hahaha… Tapi aku tak keberatan kalau yang muncul itu kau!” aku tertawa. “aku harus pulang, biar kubacakan doa untukmu sebentar…”
Aku menangkupkan kedua tanganku dan berdo’a untuk Reihan. Hatiku benar-benar tenang setelah bicara banyak dengannya tadi. Walau masih terasa sakit, suatu saat aku akan mampu melewati rasa sakit ini. Setelah membacakan doa untuknya, aku kembali menatap nisan itu.
“aku akan melupakan mimpi-mimpiku bersamanya seperti aku melakukan itu juga padamu. ini bukan salahmu, jadi kau tak perlu sedih. Kurasa dia akan bahagia bersama orang yang dia cintai. Bagaimana menurutmu? Aku sudah terbiasa merasakan kehilangan, jadi itu bukan masalah sekarang. Oh ya, tahun ini aku lulus SMA, kau juga harus mendo’akan kelulusanku yah! Aku akan menepati janjiku untuk menjadi dokter, yah…minimal perawat. Kau suka? Aku ingin membuatmu dan ibu bangga dengan apa yang aku raih. Pasti!” wajahku kembali berseri-seri sekarang.
“baiklah, selamat tinggal Reihan… sampai jumpa. Aku mencintaimu, camkan itu! Hehe… Wassalamu’alaikum…” aku beranjak dari tempatku berdiri, dan menjauh meninggalkan makam Raihan yang sekarang menjadi makam paling bersih di pemakaman ini. Air mataku kembali menetes, tapi akan kupastikan kali ini aku menangis bahagia.
Kurasa inilah akhir dari catatanku tentang Pangeran Senja, karena mulai sekarang aku hanya akan melihatnya bahagia dari jauh. Aku akan selalu mendoakan kebahagiaannya, pasti. Dan suatu hari nanti, aku yakin Allah akan memilihkan yang terbaik untuk kebahagiaanku. Sekarang yang harus kulakukan adalah mewujudkan mimpi-mimpiku...
Selamat tinggal, Pangeran Senja…
By: Ai Lynn
0 komentar:
Posting Komentar