✿ stay simple, stay humble ✿

Sabtu, 17 September 2011

Symphoni Hening (5)


                       Sudah sebulan sejak aku tahu keadaan Reihan, selama itu, tidak sedetikpun aku mampu mengalihkan pikiranku darinya. Segala hal bercampur aduk dalam otakku, membuatku tak bisa berkonsentrasi sama sekali. Keadaan ibu yang sakit-sakitan semakin memperburuk suasana hatiku. Namun aku tak sanggup menangis, setidaknya, tidak di depan ibu dan Reihan. Jika memang ini yang terbaik untuk menjaga perasaan mereka, kurasa aku akan sanggup berpura-pura tersenyum bahagia dan menganggap segalanya akan baik-baik saja.
                       “ibu, bisakah ibu menceritakan padaku apa yang dilakukan Reihan dalam mimpi ibu?” Tanyaku pada ibu ketika jam makam malam tiba. Ibu mengangguk sambil menyendok makanannya.
                       “seingat ibu, ibu melihat Reihan mengunjungi taman bunga ibu, lalu memeluk ibu. Awalnya ibu takut padanya, karena sikapnya yang aneh itu. Namun ketika Reihan memeluk ibu, ibu merasakan ketenangan dalam jiwa, semua masalah ibu seakan terangkat dari kepala. Kemudian dia tersenyum pada ibu dan berkata ‘terimakasih atas segalanya’, lalu mencium punggung tangan ibu dan pergi” jelas ibu panjang lebar.
                       Jantungku berpacu cepat, aku tak ingin mengetahui apa arti dari mimpi itu. Mengapa Reihan mengatakan itu pada ibu? Namun ketika mendengarnya, seakan-akan aku sedang memutar rekaman yang telah lama tak pernah kudengarkan. Bayangan wajah Reihan yang teduh memenuhi seluruh otakku. Aku tak menyadari tanganku yang gemetar hebat sampai mendengar suara dentingan sendok yang jatuh dari genggamanku.
                       “kau kenapa sayang?” selidik ibu panik. Aku tersadar dan segera menghapus air mata dengan ujung jilbabku.
                       “tak apa-apa bu, aku hanya teringat sesuatu” jawabku pelan, aku mencoba menyuapkan sesendok nasi dari piringku, namun lidahku tak mampu merasakan apapun.
                       “ceritakan pada ibu, apa yang membuatmu begitu gelisah?”
                       “emm…ibu… salahkah jika kita mencintai seseorang yang sudah pasti tidak akan bisa bersama kita?” tanyaku lirih. Ibu tersenyum.
                       “mengapa dia tidak akan bisa bersama kita?”
                       “karena…dia akan meninggalkan kita selamanya…” bisikku, bibirku bergetar ketika mengatakan itu.
                       “bukankah setiap orang pasti akan meninggal cepat atau lambat? Kenapa kau begitu merisaukannya? Tentu saja kita berhak mencintai siapapun, meski…” ibu tak melanjutkan kata-katanya. Aku tahu pasti apa yang tiba-tiba terlintas dipikirannya.
                       “sudah jangan dibahas lagi deh bu. Kita habiskan saja makan malam ini, kelihatannya enak sekali!” aku mencoba mengalihkan pembicaraan dan berhasil. Kusuapkan sekali lagi sendok ke dalam mulutku, namun sama saja, aku tak bisa merasakan makanan ini sama sekali.
                       Tiba-tiba terdengar suara pecahan kaca yang membuatku terperanjat,
ibu terjatuh dari kursi meja makan dan membuat gelas yang dipegangnya pecah berkeping-keping. Aku memekik panik dan langsung mengahampiri ibu yang tergeletak lemas dilantai…
________________
                       Aku berlari menuju kamar tempat Reihan dirawat. Detak jantungku memburu, dan nafasku tersengal-sengal. Reihan berdiri dari tempat tidurnya ketika melihatku datang, mengulum senyuman yang selalu mampu membuat hatiku tenang. Namun kali ini tak berhasil, senyuman Reihan Nampak begitu hampa dimataku.
                       “kau telat” kata Reihan datar, sambil melipat kedua tangannya kedada. “ada apa lyn? Kau… Kau menangis? Apa kau baik-baik saja?” Tanya Reihan cemas, ketika aku tak kunjung merespon kata-katanya, aku berusaha tersenyum sambil menghapus sisa-sisa air mata yang masih membekas dipipiku.
                       “aku baik-baik saja. Bagaimana keadaanmu?” balasku, Reihan menilik ekspresiku, sepertinya dia tahu ada yang berusaha aku sembunyikan darinya.
                       “baik. Aku menunggumu tiga hari ini, aku takut terjadi sesuatu padamu. Ada apa? Ceritalah…” pintanya, dia memberiku isyarat untuk duduk di sampingnya.
                       “tidak…aku hanya… sedang memikirkan ibu…” jawabku pelan.
                       “ibu kenapa? Apa keadaannya baik-baik saja?”
                       “bibi bilang, ibu mengalami depresi berat karena kepergian ayah… dan sekarang bibi membawa ibu ke luar kota untuk menjalani terapi…”
                       “berama lama ibu disana?”
                       “entahlah… mungkin sampai ia benar-benar sembuh total…” lirihku. Reihan memegang tangan kiriku perlahan.
                       “kau…baik-baik saja?” Tanyanya lagi. Aku memandang wajahnya yang teduh, dan menyunggingkan senyum terbaikku. Aku tak ingin terlihat lemah dihadapan Reihan hanya karena masalah ini, aku tak ingin membuat Reihan sedih karena tekanan yang aku alami saat ini.
                       “ya, tentu saja! Aku bisa mengatasinya” cengirku, “kau sudah makan malam? Nih, aku bawakan bubur ayam kesukaanmu!” aku menunjukan bungkusan yang sejak tadi ku pegang ke arahnya, namun Reihan bergeming dan tetap menatap mataku lekat-lekat.
                       “jangan pura-pura tersenyum seperti itu!” bentaknya, bungkusan bubur itu meluncur begitu saja dari tanganku dan mendarat dilantai di bawah tempat tidur Reihan.
                       “Rei…”
                       “jika ingin menangis, menangislah! Jika ingin teriak karena rasa sakit itu, teriaklah. Keluarkan semua resah yang membuatmu begitu tersiksa… Karena aku benar-benar tidak tahan melihatmu terus seperti itu. Berhentilah bilang bahwa kau baik-baik saja dan bisa mengatasi semua masalahmu sendiri…”
                       “YA! Aku tidak baik-baik saja! Kau puas?” teriakanku memotong kalimatnya, suaraku parau dan tangisku pecah. “aku sangat tersiksa dengan ini semua! Benar-benar sakit hingga rasanya aku ingin melompat dari jendela kamar ini untuk mengakhiri sakitnya! Itukah yang ingin kau dengar dari bibirku?” isakku.
                       Reihan hanya mengawasiku yang kini telah tersedu, dan tak sedikitpun mengalihkan pandangannya dari mataku.
                       “Bagaimana? Bagaimana bisa aku baik-baik saja dalam keadaan seperti ini… Bagaimana bisa aku berpura-pura tersenyum sedang kau akan pergi meninggalkanku… Aku seperti hidup dalam ilusi ketika memandangmu, ketika melihat senyummu, aku tak ingin mempercayai fakta bahwa kau begitu tega meninggalkan aku sendirian dalam keadaan seperti ini… Teganya kau menorehkan luka baru di atas luka-luka yang telah menganga dalam hatiku… Rasanya aku sudah tak sanggup lagi me…”
                       Reihan mengunci bibirku, beberapa detik, kemudian melepaskannya. Aku membatu, tak percaya dengan apa yang dilakukannya barusan. Dia menciumku, atau lebih tepatnya, menyuruhku untuk berhenti bicara.
                       “maafkan aku…” lirihnya tersendat. Kupejamkan mataku. “jika kehadiranku disini memang membuatmu semakin terluka, aku akan pergi…” lanjutnya.
                       “tidak, jangan!” pekikku.
                       “harusnya aku tak membiarkanmu menderita seperti ini, harusnya aku mengerti bebanmu telah melampaui batas, tapi aku malah membuatmu semakin terluka… “ Kata-kata Reihan membuatku pilu. Aku berdiri dan memeluknya erat-erat, entah apa mendorongku melakukan ini, aku hanya ingin mendekap Reihan seerat mungkin.
                       “sembuhlah…” isakku, “Aku mohon… sembuhlah…”
                       Reihan membalas pelukanku dan membiarkan air mataku membasahi bajunya. Selama beberapa menit, aku menangis tersedu, rasanya aku tak ingin berhenti, tak peduli dengan siapa yang akan terganggu karena tangisanku. Perlahan, aku menarik pelukanku dari Reihan, dan menghapus air mata dengan ujung lenganku.
                       “terimakasih…” ucapnya, aku memandangnya heran.
                       “untuk apa?”
                       “karena telah menjadikanku salah satu bagian terpenting dalam hidupmu” Reihan tersenyum dan mengapus sisa air mata dipipiku. Aku mencoba membalas senyumannya.
                       “aku…tak ingin kau pergi…” dalihku, sesenggukan. “bisakah… bisakah kau berusaha sembuh untukku? Tolong… aku akan lakukan apa yang aku bisa agar kau sembuh…”
                       Reihan hanya terdiam memandangku, semakin lama tatapan matanya semakin kosong. Gurat kesedihan terpahat jelas dalam raut wajahnya. Dia menundukkan kepalanya, dan menggeleng. Aku tahu apa maksudnya itu, dan seketika, air mataku kembali jatuh. Perih…
                       “Lyn… Penyakitku…”
                       “Hentikan!” teriakku, memotong kalimat Reihan. Kutangkupkan kedua tanganku untuk menutupi telinga. “aku…memutuskan untuk tidak ingin mengetahui penyakit apa yang kau derita… Aku sungguh tak ingin lagi berfikir bahwa kehadiranku disini hanya untuk… untuk… mengantar kepergianmu…” suaraku terdengar parau ketika mengatakan itu.
                       “kenapa kau lakukan itu? Kenapa kau rela menyiksa dirimu untukku? Mengorbankan tiap waktumu hanya demi memenuhi keinginanku?” pertanyaannya membuatku merasa aneh. Bukankah hal itu sudah jelas, meski aku tak pernah mengatakannya.
                       “karena…aku…  mencintaimu” jawabku pelan. Reihan menggenggam tangan kananku, entah mengapa tatapan matanya terlihat begitu memilukan.
                       “kau tahu kau tak bisa melakukan itu… cintamu tabu untukku…” kata Reihan lirih.
                       “kenapa harus tabu? Aku mencintaimu, tak peduli bagaimanapun perasaanmu terhadapku, ataupun bagaimana kondisimu sekarang, aku mencintaimu…” nada suaraku meninggi.
                       “aku hanya akan menjadi beban untukmu”
                       Aku menggeleng kuat-kuat, “bisakah kau mengizinkanku untuk mencintaimu? Sesakit apapun itu…”
                       “aku membuatmu berada dalam situasi yang sulit, aku telah membuat orang yang sangat aku cintai menderita seumur hidup. Aku egois, benarkan? Beraninya aku mencintaimu dan memintamu untuk tetap disampingku sebelum aku mati, menyuruhmu untuk menahan rasa sakit akibat kematianku…”
                       “Cukup! Aku mohon, untuk yang terakhir kalinya, jangan ucapkan kata-kata itu lagi… aku mohon…” aku memotong kalimat Reihan, dan dia terdiam.
                       Kami kembali duduk ditepi tempat tidurnya, membiarkan keheningan kembali menguasai selama beberapa saat. Tidak, bukan ini tujuanku datang menemui Reihan siang ini. Yang harus kulakukan sekarang ini adalah membuat sebanyak mungkin kenangan bersama Reihan, setidaknya, aku ingin membuat diriku bermakna untuknya, ingin mengukir senyuman indah dibibirnya, ingin melakukan banyak hal bersamanya…
                       Aku memandang Reihan yang duduk disebelah kiriku. Wajahnya terlihat sangat pucat daripada beberapa menit lalu.
                       “Reihan…kau baik-baik saja?” Reihan sedikit terperanjat mendengar pertanyaanku, dia tersenyum samar.
                       “ya. Ailyn, bukankah kau harus mengikuti bimbingan belajar sore ini?” Reihan balik bertanya. Alisku bertaut.
                       “tapi masih satu jam lagi. Ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu siang ini. Oya, bagaimana kalau kita jalan-jalan mengelilingi Rumah Sakit setelah kau makan bubur? Wah, sepertinya sudah dingin…”
                       “aku lelah dan rasanya ingin sekali tidur… maafkan aku, bisakah kau datang lagi malam nanti?” ucapan Reihan terdengar terburu-buru. “kalau kau keberatan, kau bisa datang lagi besok…”
                       “Reihan! Kenapa hidungmu berdarah?!” aku mendekap mulut dengan kedua tangan ketika melihat aliran sungai kecil merah pekat mengalir dari salah satu lubang hidungnya…
                      

0 komentar:

Posting Komentar

© Lintangra, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena