“Reihan! Kenapa hidungmu berdarah?!” aku mendekap mulut dengan kedua tangan ketika melihat aliran sungai kecil merah pekat mengalir dari salah satu lubang hidungnya. Reihan menyentuh hidungnya dan melihat darah yang kini telah menodai tangannya.
“em, tak apa. sebaiknya kau pulang sekarang” kata Reihan, seraya berdiri dan menarik lenganku dengan tangannya yang bersih, memaksaku keluar kamarnya.
“tidak, lepaskan aku!” erangku, berusaha melepas genggaman tangan Reihan, tapi aku tak cukup kuat untuk itu.
“tolong, pergilah sekarang…” wajah Reihan pucat pasi, darah dari hidungnya menetes ke lantai. Semakin lama, darah itu menetes semakin banyak.
“kau kenapa? Apa yang terjadi? Tolong, biarkan aku disini bersa-“
“Cepat pergi dari sini! Aku bisa mengatasi ini, pergilah, cepat!”
“TIDAK!” teriakku. “APA KAU INGIN MEMBUATKU MATI KARENA MELIHATMU TERSIKSA?!” teriakanku membuat beberapa perawat yang tengah melintasi ruangan ini terlihat panik dan menghampiri kami.
“PERGI!” Reihan membalas teriakanku, dan mendorongku kasar. Aku tersungkur di lantai tepat di depan pintu kamar Reihan. Namun sebelum Reihan sempat menutup pintu kamarnya, tubuhnya limbung, dan bisa kudengar suara berdebum ketika tubuhnya jatuh menyentuh lantai.
________________
“apa anda keluarganya?” Tanya Seorang Dokter yang beru saja keluar dari ruang ICU. Aku berlari mendekatinya.
“iya. Bagaimana keadaannya dok? Apa dia akan baik-baik saja? Apa yang terjadi padanya?” tanyaku panik. Dokter itu menatap tajam mataku dengan sorot simpatik.
“dia mengalami pendarahan di otaknya, dan harus segera di operasi. Kami harus meminta izin pada keluarganya untuk itu. Bagaimana?”
“APA? Ya Tuhan, aku… aku…” Jantungku berdebar keras sekali, aku tidak tahu apa yang sebaiknya aku lakukan.
“cepat, dia harus segera di tangani” desak Dokter itu.
“apa jika di oprasi dia akan sembuh?” seluruh tubuhku basah oleh keringat. Ya Allah… lakukan sesuatu…
“kumungkinannya adalah 40%, kami tidak bisa menjamin. Penyakit yang ia derita sudah terlalu parah, tapi jika tidak segera di operasi, nyawanya tidak akan tertolong lagi” lirih Dokter itu.
“Jika masih ada harapan untuknya hidup, lakukan apa yang sebaiknya anda lakukan . Saya mohon… tolong selamatkan dia…”
“baiklah, kami akan melakukan operasi. Kami mohon anda untuk bersabar apapun hasilnya nanti, karena yang menentukannya untuk tetap hidup sekarang bukanlah kami, melainkan Tuhan” Dokter itu berusaha menguatkan aku dengan menepuk pundakku sebelum pergi. Aku terduduk lemas di lantai, ketika ia menutup pintu ruangan di depanku.
Sebulan kemudian.
Kulangkahkan kakiku dengan gontai ke arah Rumah Sakit itu. Satu tanganku mengayun-ayunkan karangan bunga kriysan yang akan kuberikan Reihan sebagai hadiah. Hari ini aku berjanji untuk menemuinya pukul 03.00 p.m, sepertinya ia akan mengajakku kesuatu tempat. Kurasa ini adalah kencan pertamaku bersamanya, atau apalah bahasa yang tepat untuk kata-kata itu.
“kau datang” katanya senang, tersenyum padaku ketika melihatku masuk ke dalam kamarnya. Reihan duduk ditepi tempat tidurnya, dia melepas selang infuse yang terlilit di tangannya dan mengenakan kemeja yang sengaja aku beli untuknya beberapa waktu lalu, rasanya aneh, melihatnya tanpa piama yang biasa dipakainya. Wajahnya terlihat begitu lembut.
“tentu saja” kubalas senyuman itu. Aku mendekati bunga yang telah layu di meja dekat jendela, membersihkan kelopak-kelopak bunga yang terjatuh disekitar vas, mengambil bunga itu dari vasnya dan menggantinya dengan bunga-bunga kriysan yang baru.
“nah, indah bukan? Sekarang ruangan ini jadi kembali hidup” cengirku pada Reihan. Ia hanya tertawa mendengar kata-kataku.
“iya, bahkan lebih indah dari senyummu” jawabnya. Aku ikut tertawa bersamanya.
“wah…jadi sekarang aku tersaingi oleh mereka ya?” sindirku, melirik Reihan yang tengah terbahak dan duduk di kursi samping tempat tidurnya. “bagaimana keadaanmu? Dan kenapa tiba-tiba kau memutuskan untuk keluar berdua bersamaku?” tanyaku heran.
“aku ingin kau melihat suatu tempat. Disana indah sekali, mataharinya juga terlihat sangat indah jika hampir terbenam” ketika mengucapkan itu, sorot mata Reihan memancarkan kerinduan yang nyata. “tapi sebelumnya, aku ingin sholat berjamaah denganmu…” lanjutnya.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk, kemudian mengikutinya ke mushola kecil yang ada diujung koridor depan ruangan ini. Hatiku merasa begitu damai setelah selesai sholat bersama Reihan. Raut wajah Reihan terlihat lebih teduh dari biasanya.
Dia mengajakku ke tepi sungai di samping jalan setapak yang tidak terlalu jauh dengan Rumah Sakit. Dan mendahuluiku untuk duduk dihamparan rumput yang bersih, menghadap ke arah matahari senja, aku duduk disebelahnya. Suasana di tempat ini sungguh menenangkan hati, meski angin berkali-kali membuatku bergidik kedinginan dengan tiupannya.
“langitnya indah bukan?” Tanya Reihan, sambil memandang ke arah langit di depannya, matanya menerawang jauh ke ufuk Barat.
Aku mengangguk dan memandang langit. Matahari seperti tersenyum pada kami melalui cahayanya, senja terlihat bahagia sore ini. Aku tak menyadari keindahannya sebelum ini.
“kau lihat gumpalan awan disana? Rasanya aku ingin terbang mendekatinya” kata Reihan tersenyum.
“aku ikut” jawabku, tersenyum bersama Reihan. “emm…Rei… Dokter itu hebat ya?”
“menurutmu begitu?” ia balik bertanya.
“iya, hebat sekali. Aku sangat berterimakasih padanya, karena berkat dia, aku masih bisa melihat senyum indahmu” kupandangi Reihan yang tengah menengadah. Lagi-lagi tatapan matanya terlihat kosong.
“kau benar…” lirihnya, masih tak memandang ke arahku.
“kau kenapa sih? Lihat aku deh” ucapku kesal. Reihan memandang ke arahku dan tersenyum, ia menggenggam erat tangan kananku.
“maukah kau berjanji satu hal padaku?” Tanyanya tiba-tiba.
“apapun” jawabku.
“bila suatu saat nanti aku tak ada, berjanjilah kau harus tetap melanjutkan hidup-“
“jangan lanjutkan” aku memotong kalimat Reihan dan mengerutkan kening. “aku tak mau memikirkan itu lagi, aku bahagia denganmu sekarang ini, tolong jangan mengacaukan kebahagaiaanku…” lanjutku.
“dengar, kau tahu Dokter itu mengatakan, fakta bahwa aku masih bisa tersenyum, telah di luar kemampuan nalarnya. Dia bahkan pesimis oprasi itu akan berhasil-“
“tapi buktinya memang berhasil kan? Oh ayolah… jangan mulai lagi… aku hanya ingin bersenang-senang bersamamu sore ini…” sahutku sedih. Reihan menggenggam tanganku semakin erat.
“aku juga tak ingin pergi darimu. Tapi keadaanku-“
“kalau begitu jangan pernah berfikir kau akan pergi” kataku. Kubalas genggaman tangan Reihan. Kurasa ia menyerah, dan menundukkan kepalanya.
“aku mencintaimu” ungkapnya.
“aku juga, sangat. Kumohon… teruslah hidup untukku… aku tak tahu apa yang akan kulakukan jika kehilanganmu…” Reihan memandangku dan mengangguk, ia melepaskan tanganku dan mengeluarkan sesuatu dalam saku bajunya. Sebuah harmonica yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
“kau bisa memainkannya?” Tanya Reihan seraya menyodorkan harmonica itu ke arahku. Aku tersenyum sambil mengangguk.
“dari mana kau mendapatkannya?” tanyaku, aku tak pernah tahu kalau Reihan juga suka dengan music.
“ini harmonica ayahku. Dulu ia sering memainkannya untukku. Coba mainkan ini” perintahnya.
“baiklah, tapi sebelumnya aku ingin melihat kau memainkannya terlebih dahulu” balasku. Reihan mengacak kepalaku sekali, sebelum memainkannya.
Suara harmonica itu merdu sekali, alunannya membuatku bergidik karena terharu. Aku kenal lagu ini, karena aku sering sekali menyanyikannya waktu kecil dulu. Symphoninya benar-benar indah, dan semakin terdengar indah ketika Reihan yang memainkannya. Padahal itu lagu yang memilukan, tapi Reihan yang membawakannya dengan penuh perasaan malah membuat hatiku terasa damai. Tunggu dulu… lagu yang memilukan?
“Reihan?” ucapanku membuat Reihan berhenti meniup harmonicanya, dan memandang ke arahku, heran.
“apa? Kau tak suka ya?”
“tidak, aku suka sekali. Hanya saja aku ingin tahu apa yang membuatmu memilih lagu itu?” entah kenapa aku merasa begitu gelisah tiba-tiba.
“entahlah, lagu itu tiba-tiba terpikir di benakku. Nah, aku sudah memainkannya untukmu kan? Bisakah mau memainkannya untukku juga?” vonisnya, dan aku tak bisa membantah lagi.
Aku mengambil harmonica itu dari tangannya.
“tapi sebelumnya, ada yang ingin aku bicarakan padamu” kata Reihan.
“apa?”
“berjanjilah kau tak akan pernah melupakanku” lanjutnya. Aku tercengang, apa maksudnya?
“ah, kau ini ngomong apa sih… Dengar permainanku baik-baik. Oke?” cengirku, Reihan tersenyum.
“Lyn?” panggilnya lagi.
“apalagi kali ini?” candaku. Tiba-tiba Reihan telah ada di depan mataku dan mencium lembut keningku. Aku sungguh tak mengerti apa yang sedang dilakukannya itu.
“bolehkah aku tidur dipundakmu sambil mendengarkanmu memainkannya?”
Keningku berkerut memandangnya, aneh sekali kelakuan Reihan sore ini.
“ya, ya, lakukan apa yang kau mau, sekarang kemarikan kepalamu dan dengarkan aku” ucapku tak sabar. Reihan menyandarkan kepalanya di pundakku, sementara aku memainkan harmonica ini.
Aku memainkan lagu klasik kesukaanku, menggeser-geserkan harmonica itu pada bibirku. Sudah lama aku tak memainkannya, bersyukur aku masih bisa memainkannya dengan baik. Perlahan kurasakan pula, hela nafas reihan mengalun teratur ditelingaku, semakin lama semakin melemah. Aku bisa mencium wangi rambutnya, betapa kebahagiaanku sore ini seakan ingin meluap dari dasar hati.
Semakin lama aku merasa ada yang aneh, kepala Reihan yang bersandar di pundakku, terasa semakin berat. Aku berhenti memainkan harmonica itu.
“Reihan? Kau benar-benar tertidur ya?” bisikku pelan. Kutunggu selama beberapa detik, tak ada jawaban.
“hey, bangunlah… Lihat matahari di ufuk Barat sana, warnanya telah berubah jingga kemerahan…” ucapku lagi. Namun Reihan tetap bergeming dan tak merespon ucapanku.
Kurasakan dengan seksama, desah nafas Reihan… Tuhan, aku tak bisa mendengar desah nafasnya!
“Reihan? Hey, bangunlah!” aku panik sambil menggenggam erat tangannya yang terkulai lemas. Kusentuh wajahnya dengan tanganku yang gemetar hebat, turun kedadanya untuk merasakan detak jantungnya. Aku tak mampu merasakan apapun.
Kubalik tubuhku untuk menghadap Reihan, dan aku memekik ketika tubuh Reihan jatuh dalam dekapanku.
“tidak… Reihan…aku mohon bangunlah…” aku mengguncang-guncangkan tubuhnya. Air mataku jatuh, dan suaraku berubah parau.
“Reihan… aku mohon…” rintihku, Reihan tak bergerak sama sekali.
“TIDAK, TIDAK, TIDAK! Reihan, kau tak boleh meninggalkanku seperti ini…” air mataku tak bisa berhenti mengalir, pandangan mataku memburam, dan aku tak mampu merasakan apapun selain jasad Reihan yang kudekap sangat erat ini. Aku menolak kenyataan bahwa Reihan telah pergi, namun aku tetap tak menemukan alasan yang membuktikan kenyataan itu salah.
“jangan sekarang Tuhan…! Aku mohon… beri aku waktu bersamanya beberapa detik lagi… setidaknya… setidaknya… sampai aku menyelesaikan symphoni untuknya…” kuciumi wajah Reihan yang telah sepucat vampire, namun senyuman masih tersisa diraut wajahnya.
Air mataku jatuh tepat di bawah matanya, membasahi seluruh permukaan wajahnya. Tak ada lagi kini senyuman yang selalu kurindukan itu, tak ada kelopak-kelopak kriysan yang berguguran di dalam kamarnya, tak ada pelukan lembut yang membuatku tetap tegar, tak ada alunan-alunan merdu dari symphoni yang tak lama ini kudengarkan, tidak, semua itu tak mungkin terjadi lagi.
Yang tersisa kini hanyalah, symphoni hening yang belum sempat aku selesaikan untuknya…
-Tamat-
By: Ai Lynn
0 komentar:
Posting Komentar