✿ stay simple, stay humble ✿

Jumat, 25 November 2011

Never End (part 1)



Rena POV

            “Kak Rega!!” teriakku keras, sambil berlari ke arah garasi. Kak Rega memandang ke arahku dan tersenyum. Satu tangannya memegangi helm yang hendak dia kenakan. Setelah aku sampai dimulut garasi, kak Rega meletakkan helm di atas jok motornya dan menghampiriku.
            “Ada apa Rena?” Tanyanya lembut seraya mengacak-acak rambutku, gemas.
            “Kak Rega mau kemana di tengah hujan begini?” jawabku curiga. Meski tersenyum, raut wajah kak Rega tetap tak bisa menyembunyikan kepedihan yang dirasakannya. Aku tak sengaja melihat kak Rega meneteskan air mata sebelum memutuskan untuk mengambil motornya di garasi. Entah apa yang terjadi, aku merasa ada sesuatu yang berusaha disembunyikan kak Rega dari semua orang.
            “kakak ada urusan sebentar. Kamu jaga ayah di rumah ya, ingat jangan lupa memberinya obat pukul  09.00 p.m nanti” kata kak Rega tegas. Matanya menatap tajam mataku, berharap aku akan melakukan apa yang diperintahkannya.
            “tidak kak, kak Rega tak boleh pergi. Setidaknya tunggu sampai hujannya reda…” ucapku, memohon. Namun kak Rega hanya menghembuskan nafas panjang, menunjukkan ketidaksabarannya.
            “dengar Rena, kakak harus pergi sekarang juga. Harus. Jika tidak, mungkin kakak tidak akan pernah bisa melihat…”
            “melihat Lui lagi?!” potongku cepat. “selalu saja dia…” gerutuku kesal. Kak Rega memegang bahuku sekali lagi, sedikit membungkuk untuk mengimbangi tinggiku.
            “dia segalanya bagi kakak. Kakak mohon kau bisa mengerti itu”
            “tapi tidak bisakah kak Rega tunggu sampai-”
            “Tidak!” sahut kak Rega. Aku sedikit terkejut mendengar suaranya, dan mundur selangkah menjauhinya. Kak Rega melepaskan tangannya dari bahuku dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. “kakak harus pergi, jaga ayah baik-baik. Sampai nanti…” ucap kak Rega akhirnya, seraya menyambar helm di atas jok motor dan membawa motornya melaju memecah angin di tengah hujan deras.
            “KAK REGA!!” jeritku. Namun percuma, bayangan kak Rega kini telah menghilang di telan hujan. Hatiku tidak tenang begitu kak Rega pergi, aku merasa seperti ada sesuatu yang akan menimpanya. Tapi dengan segera kubuang jauh-jauh perasaan buruk itu.
________________
            “KAU!! Ini semua salahmu! Salahmu kak Rega meninggal!” teriakku keras di depan wajahnya. “lihat dirimu! Kau bahkan tidak mengeluarkan air mata sedikitpun! Kau tidak menangis atas kematian kak Rega! CEPAT!! Kau hidupkan kembali kak Rega-ku! Cepat!!” aku menggenggam erat kerah bajunya hingga posisi tubuhnya sedikit condong ke arahku. Namun dia bergeming dan tetap memandang lantai dengan tatapan matanya yang kosong.
            Aku mengguncang-guncang tubuhnya keras sekali, tapi dia tetap diam dan tak mengabaikanku sama sekali. Aku melepaskan cengkramanku yang sia-sia dan menampar wajahnya keras-keras. Dia mundur selangkah akibat pukulanku, tiba-tiba saja tubuhnya gemetar hebat dan akhirnya dia jatuh terduduk di depanku. Ketika aku hendak meraihnya agar berdiri lagi, seseorang menggenggam tanganku.
            “apa yang kau lakukan pada Lui?” kualihkan pandanganku pada seseorang itu.  Aku tahu siapa dia, dia salah satu teman kak Rega juga. Aku menarik tanganku dari pegangannya.
            “dia… ini semua salahnya… kak Rega… kak Rega…” aku tersedu sambil mendekap wajahku dengan kedua tangan. Nafasku tersengal, bukan karena aku tak tahan dengan bau obat yang begitu menyengat di Rumah Sakit ini, tapi karena aku masih belum mampu menerima kenyataan atas meninggalnya seseorang terpenting dalam hidupku.
            “ini tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan Lui. Kakakmu sendiri yang mendatanginya dan hal buruk terjadi padanya. Kenapa kau terus memaksa bahwa ini adalah kesalahannya?” orang itu menunjuk Lui, namun matanya menatap tajam ke arahku.
            “tentu saja ada kaitannya! Gara-gara menemui dia, kakak mengalami kecelakaan. Ini semua salahnya, dia menyuruh kak Rega datang di tengah hujan deras. Ini semua salahnya!” aku memekik nyaring. “kau lihat dia, lihat ekspresi wajahnya! Dia bahkan tidak merasa sedih sama sekali!”
            “RENA!”
            “hentikan Ken… Rena benar… ini semua salahku…” Lui bangkit dari lantai dan memandang ke arahku. Matanya berkaca-kaca. “harusnya aku tak mengatakan pada Rega bahwa aku akan pergi malam ini. Harusnya aku…aku…tak perlu mengucapkan selamat tinggal padanya… Aku sama sekali tak menyangka kalau dia memutuskan datang menemuiku…” sebutir air mata membasahi pipinya.
            “Lui…”
            “kau tahu kak Rega sangat mencintaimu! Padahal kau punya banyak kesempatan mengatakan itu sebelumnya! Mengapa… Mengapa baru sekarang kau ingin mengatakannya?! Kau mau mempermainkan kak Rega kan! Dasar perempuan…”
            “tutup mulutmu Rena!” seseorang yang dipanggil Ken itu memotong kalimatku. Sebelum aku sempat memprotes ucapannya, Lui berjalan menjauh dari kami berdua dengan langkah sempoyongan. Ketika Ken hendak menghampirinya, dia telah terjatuh tak sadarkan diri.

Rena POV end.
________________
Lui POV

Flashback
            “hallo…?” kataku ragu-ragu. Aku bisa merasakan detak jantungku yang memburu ketika mendengar suara diseberang sana membalas kata-kataku.
            “Lui? Apa itu benar? Aku mendengarnya dari Ken bahwa kau akan berangkat ke Tokyo malam ini, benarkah?” Rega mengajukan pertanyaan yang membuat kepalaku semakin pening.
            “ya… aku akan pergi malam ini”
            “kenapa harus malam ini? Tolong jelaskan padaku, mengapa kau pergi tanpa memberitahuku sama sekali?”
            “aku tak bisa memberitahukan alasannya padamu… Aku hanya ingin menyembuhkan hati yang penuh memar ini, dan jika tetap disini, aku tak yakin lukaku bisa sembuh…”
            “kenapa kau seperti ini? Ini bukan dirimu kan? Kau kenapa?”
            “aku… hanya tak ingin melihatmu lagi…” lirihku, Rega terdiam beberapa detik.
            “kau benar-benar menutup hatimu untukku ya…”
            “Rega… maafkan aku, tapi ada yang ingin kusampaikan padamu sekarang-“
            “tidak masalah bagiku, meski kau tak pernah bisa mencintaiku, itu sama sekali bukan masalah. Tapi aku mohon, jangan pergi menjauh dariku seperti ini… kau dimana sekarang? Cepat beritahu aku!” Rega memotong kalimatku.
            “dengarkan dulu, aku ingin kau tahu bahwa-“
            “jawab aku Lui! Kau dimana?!” lagi-lagi Rega tak memberiku kesempatan menyelesaikan kalimatku, dan aku terdiam pasrah.
            “bandara” jawabku singkat.
            “tunggu aku! aku segera kesana” jawabnya.
            “tidak! Jangan! Hujannya terlalu deras, kau tak bisa naik motor dalam cuaca seperti ini!” protesku panik, memang benar, hujan diluar sana benar-benar deras hingga semua orang di Bandara ini saling berbisik cemas dengan keadaan mereka. “Rega! Hallo?! Rega!!” teriakku padanya, namun terlambat, Rega telah memutus sambungan telponnya denganku.
            Aku duduk dengan kedua tangan menggenggam erat. Darahku berdesir tiap kali mendengar suara petir yang menggelegar. Aku mengarahkan pandangan kesegala penjuru, berharap melihat sesosok tubuh yang basah kuyub berjalan menghampiriku, namun tidak menemukannya sama sekali. Beruntung jadwal penerbangan ditunda dua jam karena hujan, hingga aku bisa sedikit tenang menunggu kedatangan Rega.
             Lima belas menit berlalu, namun hujan tak juga mau menyerah mengguyur bumi. Perasaanku semakin tak menentu, aku sama sekali tidak melihat tanda-tanda adanya Rega di ruangan luas ini.
            Tiga puluh menit lewat, namun tetap nihil. Aku berkeringat dalam udara sedingin ini, dan nafasku nyaris tersengal berulang kali duduk-berdiri untuk memastikan apakah Rega telah sampai. Katika aku memutuskan untuk mencoba menghubungi ponselnya, seseorang telah menelponku terlebih dahulu.
            “Ken? Ada apa?” tanyaku, Ken terdiam, namun sepertinya aku mendengar dia sedang terisak. “Hallo? Ken, kau kenapa?” ulangku.
            “Lui…”
            “iya? Kenapa? Kau menangis? Ada apa denganmu?” desakku tak sabar.
            “Rega… Rega mengalami kecelakaan motor, dan dia…meninggal”
            DEG! Jantungku serasa berhenti berdetak ketika Ken mengatakan hal itu. Rega? Apa?
            “tidak mungkin…” jawabku nyaris berbisik. Seluruh tubuhku gemetar hebat.
            “Lui… itu benar…” kata Ken lirih, aku tak mampu bicara apapun lagi sekarang, semua ruangan disekitarku terasa berputar-putar cepat sekali. “Lui? Kau dimana? Aku akan menjemputmu…”
            Kupejamkan mataku rapat-rapat, berharap ini semua hanya mimpi dan aku akan terbangun ketika aku membuka mata nanti. Namun segalanya seperti tercampur aduk dalam otakku…
            “Lui! Jawab aku!”
            “bandara” bisikku akhirnya.
________________
            Ken menggandeng tanganku berlari untuk melihat Rega, namun setelah sampai, yang terlihat oleh mataku hanyalah kain putih bernoda darah yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Kulepaskan genggaman tangan Ken dan menghampiri Rega, namun Ken mencegahku. Sekeras apapun usahaku untuk melepaskan tangan darinya, aku tetap tak cukup kuat melakukan itu. Bahkan untuk sekedar membuka mulut saja, rasanya benar-benar sulit.
            Aku menyerah dan membiarkan Ken mendekap erat tubuhku yang nyaris terjatuh, karena kaki-kakiku sudah tak mampu lagi menopang berat badanku. Semuanya seakan menghilang begitu saja dalam otakku, aku tak sanggup menerima kenyataan bahwa ini bukanlah mimpi. Ken memapahku ke luar ruangan dan memaksaku duduk dibangku kayu ketika aku telah berada sedikit jauh dari ruangan Rega.
            “tunggu sebentar, aku akan membeli minuman hangat untukmu” katanya, lalu pergi. Aku memandang lantai di bawahku, meski aku nyaris tak bisa bernafas karena kematian Rega, aku sama sekali tak mampu mengeluarkan air mataku sedikitpun.
            Tiba-tiba seseorang menarik kerah bajuku dan memaksaku bangkit dari duduk. Aku kenal siapa dia, Rena, adik perempuan Rega.
“KAU!! Ini semua salahmu! Salahmu kak Rega meninggal!” teriak Rena didepan mukaku. Namun aku sama sekali tak berniat untuk menghindarinya, meski mataku terbuka, aku tak yakin apakah aku masih tetap ada diruangan rumah sakit ini.
“lihat dirimu! Kau bahkan tidak mengeluarkan air mata sedikitpun! Kau tidak menangis atas kematian kak Rega! CEPAT!! Kau hidupkan kembali kak Rega-ku! Cepat!!” raungnya lagi. Rena mengguncang-guncangkan tubuhku keras sekali, lalu menamparku hingga aku terjatuh sedikit menjauhinya. Kini aku sama sekali tak bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakannya padaku.
“apa yang kau lakukan padaLui!” sepertinya aku mendengar suara Ken menghampiriku.
“dia… ini semua salahnya… kak Rega… kak Rega…” isak Rena.
“ini tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan Lui. Kakakmu sendiri yang mendatanginya dan hal buruk terjadi padanya. Kenapa kau terus memaksa bahwa ini adalah kesalahannya?” Ken mencoba membelaku.
“tentu saja ada kaitannya! Gara-gara menemui dia, kakak mengalami kecelakaan. Ini semua salahnya, dia menyuruh kak Rega datang di tengah hujan deras. Ini semua salahnya! kau lihat dia, lihat ekspresi wajahnya! Dia bahkan tidak merasa sedih sama sekali!”
“RENA!” Ken membalas teriakannya, namun kali ini aku berhasil mendapatkan suaraku lagi dan mencoba untuk bicara sejelas mungkin.
“hentikan Ken… Rena benar… ini semua salahku… harusnya aku tak mengatakan pada Rega bahwa aku akan pergi malam ini. Harusnya aku…aku…tak perlu mengucapkan selamat tinggal padanya… Aku sama sekali tak menyangka kalau dia memutuskan datang menemuiku…” suaraku nyaris seperti bisikan, bahkan terdengar aneh ditelingaku sendiri.
Ken kembali bicara, namun aku benar-benar tak bisa mendengar apapun sekarang ini. Kakiku serasa telah melayang menjauhi lantai, dan ketika aku mencoba untuk melangkahkannya, kulihat seluruh ruangan disekitarku menjadi gelap gulita…

Flashback end
________________
            Aku menemukan diriku terbaring dihamparan rumput yang luas, mataku terfokus pada langit biru di atasku. Kemudian seseorang menyentuh bahuku, dan turut membaringkan tubuhnya disampingku. Kualihkan tatapanku padanya, dan mengamati sejenak untuk memastikan siapa orang itu.
            “sedang apa disini?” Tanya Rega. Aku mengangkat satu alisku.
            “entah” lirihku, rega tersenyum sambil terus memandangiku.
            “apa aku mengganggumu?” tanyanya lagi. Aku menggeleng.
            “tidak”
            “lantas?”
            “tak ada…” jawabku, kemudian kembali memandang langit.
            “aku merindukanmu…” kata Rega, jantungku berdetak keras ketika dia mengatakan itu.
            “aku… juga…” jawabku. “Rega aku…”
            “aku tahu, ini bukan salahmu” sahutnya cepat, aku berpaling ke arahnya lagi.
            “seandainya aku tak berniat pergi malam itu… pasti hal ini tak akan terjadi padamu…maafkan aku…” aku mulai terisak.
            “ssstt… sudah kubilang ini bukan salahmu…” Rega tersenyum dan menghapus air mataku. Kupejamkan mataku, menahan perih yang tiba-tiba datang entah dari mana.
            “aku… sebenarnya aku…”
            “ya?” desak Rega.
            “aku mencintaimu…” ucapku jelas, bisa kurasakan perasaan lega mengaliri seluruh tubuhku setelah berhasil mengatakannya pada Rega.
            “aku bahagia mendengar itu, meski aku tak tahu apa alasanmu mengabaikan perasaanmu sendiri…” balasnya. Aku tak bisa menjelaskan pada Rega mengapa aku tak pernah menerima cintanya, dan meski sekarang sudah sangat terlambat, kurasa aku tetap akan menyimpan alasan ini sendirian.
 “Lui… maukah kau mengabulkan satu permintaanku?”
            “katakan”
            “sampaikan salamku pada Rena, aku sangat menyayanginya… Aku tahu ini akan berat bagimu, tapi tolong yakinkan dia, bahwa dia juga segalanya bagiku…”
            “aku sangat merasa bersalah padanya…” lirihku, Rega menggenggam satu tanganku.
            “Rena akan mengerti, mengapa aku lebih memilih untuk menyusulmu. Dia akan memahami hal itu suatu saat nanti…”
            Kata-kata Rega membuat dadaku sesak. Aku tak sanggup melakukan apapun lagi, selain menggangguk dan membalas genggaman tangannya.
            “kau tidak bosan memandangiku seperti itu?” Tanya Rega tiba-tiba.
            “tidak” jawabku.
            “Lui…”
            “ya?”
            “tersenyumlah…” pintanya, walau merasa aneh, aku mencoba tersenyum untuknya.
            “aku mencintaimu” lirihnya.
Rega membalas senyumanku. Aku sama sekali tak ingin mengalihkan pandanganku darinya, meski detik demi detik wajahnya perlahan memudar hingga dia benar-benar menghilang dari tatapanku.
            Aku kembali memejamkan mata, dan menahan air mataku agar tidak jatuh.
            “aku juga mencintaimu…”
________________
            2 minggu kemudian.
            ”hari ini, kutraktir kau makan ramen!” kata-kata Ken mengejutkanku.
            “tidak, trims” tolakku. Dan berjalan cepat mendahuluinya, namun Ken berhasil mengejarku.
            “Lui…ayolaaah…” rengeknya, membuatku ingin terbahak dengan sikapnya itu.
            “aku tidak lapar. Oke? Lebih baik kau terima saja tawaran penggemar fanatikmu itu untuk pulang bersamanya, kau tidak lihat caranya menatapku? Dia seperti ingin menelanku hidup-hidup saja!”
            “ssstt… kau tak lihat aku sedang menyamar?” bisik Ken, aku memutar bola mataku.
            “Hahaha…! Menyamar katamu? Baiklah, penyamaran yang bagus” aku sudah tak bisa lagi menahan tawa. Ken mengamati dirinya sendiri dan mengerutkan kening, sambil terus berjalan bersamaku.
            “lihat, bisa-bisanya dia tertawa seperti itu bersama orang lain setelah kematian Rega ya!” bisik salah seorang siswi pada temannya yang tak sengaja berpapasan ketika aku dan Ken lewat. Aku seperti merasakan hantaman yang keras dikepalaku ketika mendengarnya.
            “Hey! Kami dengar apa yang kalian bicarakan!” teriakan Ken membuatku tersadar, dan dengan cepat kuraih lengan kemejanya untuk menjauhi gerombolan siswi itu, namun Ken menyentakkan tangannya dariku.
            “sudahlah Ken, biarkan saja…” gumamku. Untunglah, sebelum Ken sempat memarahi mereka lebih keras lagi, mereka cepat-cepat menjauhi kami berdua sambil tetap melirikku sinis.
            “kenapa kau diam saja melihat mereka menggunjingmu seperti itu?” sentaknya, membuat aku sedikit terperanjat.
            “karena memang itulah kenyataannya!” balasku, lebih keras. Ken terdiam dan menatap tajam mataku, kualihkan pandanganku darinya.
            “dengar, aku tak akan membiarkan mereka melakukan itu lagi. Aku muak dengan perkataan mereka yang sok tahu tentangmu dan juga Rega!”
            Aku kembali memandangnya dan berusaha tersenyum untuk meyakinkan dia bahwa aku baik-baik saja. Namun sedetik kemudian beberapa siswi kelas sepuluh berlari menghampiri kami berdua dan berebut untuk mendekati Ken, membuatku sedikit menjauh darinya. Aku hanya memandanginya saja, ketika para gadis itu berteriak histeris karena berhasil menemukan Ken, kemudian melanjutkan langkahku berjalan menjauhinya.
            Samar-samar kudengar Ken berteriak memanggilku, tapi aku tak ingin menghiraukannya lagi kali ini. Aku menahan air mata yang nyaris terjatuh, sebelum mereka sempat membasahi buku-buku yang kudekap sangat erat dengan kedua tanganku.

To be continued…     

0 komentar:

Posting Komentar

© Lintangra, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena