Aku menghembuskan nafas panjang, jenuh. Suasana rapat osis siang ini benar-benar panas dan membosankan. Sengaja aku mainkan serpihan kertas dan kayu di depan mejaku untuk mengurangi rasa jenuh yang berkelanjutan ini. Hatiku gelisah memikirkan seseorang yang telah menungguku hampir sejam lamanya di luar ruangan. Harusnya aku menuruti kata-katanya untuk menghindari rapat, sehingga aku bisa dengan tenang pergi bersama sekarang ini.
Kulirik seseorang yang duduk tepat disebelahku, dia tak jauh berbeda denganku, mungkin malah lebih parah. Raut wajahnya nampak kusut dan terlihat amat sangat bosan. Seperti ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya. Tiba-tiba dia melihat ke arahku juga, lalu tersenyum simpul. Entah mengapa, hatiku berdesir ringan melihat senyuman itu.
“kenapa?” aku terkesiap ketika dia bertanya padaku.
“eh, tidak” jawabku kikuk. Aku sendiri tak bisa menemukan alasan mengapa aku menjadi gugup ketika bicara dengannya.
“bosan ya?” Tanyanya lagi. Aku mengangguk, mengiyakan. Aku kenal siapa laki-laki ini, dia adik kelasku, wakil sekretaris satu dalam organisasi ini. Namun aku tak dapat mengingat namanya sama sekali, atau malah tak pernah tahu sebelumnya.
“kapan selesainya nih…” keluhku pelan. Kuletakkan kepalaku di atas meja.
“lama ya, yang mereka omongin hanya hal-hal yang tak berguna. Buang-buang waktu” ulasnya. Aku memandangnya heran, dia terlalu jujur mengungkapkan apa yang sedang mengusik pikirannya tanpa memikirkan resiko dari pernyataannya itu.
Aku mengangguk setuju, bagaimanapun yang dikatakannya benar. Rapat kali ini hanya membahas hal-hal yang tidak jelas kesimpulannya. Aku kembali melirik arlojiku, ini sudah yang keratus kali aku mengamatinya, berharap waktu akan berhenti dan memberikanku ruang untuk bisa bersama Vic.
Tak lama salah satu pengurus osis memberitahuku, bahwa
seseorang di luar memanggilku untuk menghampirinya sebentar. Aku menurut dan berdiri untuk meninggalkan ruang rapat itu.
seseorang di luar memanggilku untuk menghampirinya sebentar. Aku menurut dan berdiri untuk meninggalkan ruang rapat itu.
Kulihat Vic berdiri di samping pintu dengan melipat kedua tangannya ke dada, raut wajahnya berubah ketika melihatku.
“belum selesai?” Tanya Vic ketus. Aku tahu dia pasti kesal denganku karena telah membuatnya mengunggu terlalu lama. Aku hanya bisa menjawab pertanyaannya dengan anggukan pelan, Vic mendengus keras.
“maaf… aku tak menyangka akan selama ini” kataku pelan.
“sudah kubilang kan, jangan ikut rapat! Kau pikir berapa lama aku menunggumu?!” bentaknya. Hatiku mencelos, aku sama sekali tak menyangka Vic tega membentakku seperti itu.
“maaf…” ulangku, tanganku gemetar karena takut, takut dia tiba-tiba memutuskan untuk pergi meninggalkanku.
“sudahlah! Kau memang selalu mementingkan osis yang kau bangga-banggakan itu dari pada aku”
“aku tidak membangga-banggakannya. Aku Cuma berusaha untuk memenuhi kewajibanku” dalihku, menahan air mata yang nyaris tumpah. Konyol sekali jika aku menangis hanya karena dia memarahiku seperti ini.
“oke. Terserah kau saja. Aku pulang!”
“tidak, tunggu!” aku memanggilnya sebelum dia melangkah lebih jauh lagi. Dia memalingkan mukanya, kesal, pura-pura tak mengerti apa yang membuatku mulai terisak.
“kau tahu aku mencintaimu…” bisikku lirih. Aku malu mengatakan ini, tapi aku benar-benar tak ingin melihatnya kecewa dengan apa yang aku lakukan. Namun Vic mencibir menatapku, kemudian melangkah pergi.
Hatiku sakit sekali, aku tak mampu menerima perlakuan seperti ini darinya. Kembali aku masuk ke sekretariat sambil sekuat tenaga berusaha menahan air mataku agar tidak menetes. Namun sia-sia, aku berjongkok dibawah bangku, berpura-pura melakukan sesuatu untuk menghindari tatapan mata-mata yang memandangku ingin tahu.
Hanya laki-laki itu yang terus saja menatap tajam ke arahku, dia mengawasiku yang terisak tertahan dengan seluruh tubuh yang bergetar hebat.
“hei, kau baik-baik saja?” tanyanya, ada nada cemas dalam suaranya. Aku mencoba mengangkat wajahku untuk memandangnya, kemudian mengangguk.
“iya” jawabku sesenggukan, seraya menghapus air mata dengan ujung lenganku.
“mana ada seseorang yang baik-baik saja menangis seperti itu” bantahnya. Aku terdiam sambil berusaha mengendalikan emosiku yang masih meluap. “kenapa?” tanyanya lagi.
“tak apa, hanya…”
“hanya?” desaknya tak sabar, aku mencoba untuk tersenyum padanya.
“aku ingin pulang” lirihku. Dia terdiam sejenak sambil terus menatapku, kemudian menghembuskan nafas panjang.
“pulanglah” katanya. “biar aku yang menjelaskannya pada mereka” dia membalas senyumanku.
“tapi aku…”
“pulanglah” ulangnya lebih keras, mencoba meyakinkanku. Akhirnya aku mengangguk dan menyelinap pergi dari ruangan itu. sebelum melangkah keluar, kulirik laki-laki yang menolongku tadi, dia mengangguk padaku satu kali dan menggumamkan kata “hati-hati” di sudut bibirnya.
“terimakasih…” bisikku pelan, dan air mataku kembali luruh.
____________
0 komentar:
Posting Komentar