Pagi ini langit cerah tanpa awan, namun aku merasa matahari sepertinya telah tenggelam. Kucoba langkahkan kakiku lebih jauh untuk mencapai ruang kelasku. Mataku berkunang-kunang karena semalaman tak tidur hanya karena memikirkan kejadian kemarin.
“Lin! Kenapa matamu bengkak begitu?” Tanya Aifa setengah berteriak ketika melihatku. Aku hanya memandangnya sedih dan menggeleng pelan. Aifa yang tidak bisa menerima penjelasanku, menarik lenganku untuk mengikutinya ke ruang ganti.
“kau kenapa?” lanjutnya tak sabar. Aku diam sejenak sebelum akhirnya mulai terisak keras. Aifa memelukku dan menepuk-nepuk pundakku pelan, menungguku bicara.
“Vic…” jawabku sesenggukan.
“kenapa? Dia memarahimu lagi?” vonisnya. Aku hanya bisa mengangguk pelan sambil berusaha menghapus air mata dengan lengan bajuku.
“hanya k-karena…aku membuatnya menunggu t-terlalu lama…” aku tak dapat menghentikan tangisku.
“kenapa dengannya! Dan kenapa juga denganmu! Setelah semua yang telah dia lakukan terhadapmu, bagaimana mungkin kau masih tetap mencintainya sedalam itu?!” Aifa melepaskan pelukannya dan melipat kedua tangannya. Wajahnya memerah karena marah.
“a-aku…”
“apa? Kau mau membelanya lagi?” Tanya Aifa ketus. “aku bosan melihatmu selalu menangis karenanya! Kau sadar tidak sih, yang kau lakukan itu benar-benar konyol!”
“lalu aku harus bagaimana?” balasku keras.
“tinggalkan dia” kata Aifa tegas, aku membelalak menatapnya.
“ini… tidak semudah itu... Kau tahu…aku…” aku tak bisa menyusun kalimatku sendiri untuk membantahnya.
“aku tahu kau tak mungkin melakukan itu. Tapi hanya ada dua pilihan untukmu sekarang, tinggalkan dia, atau terus menahan sakit karena bersamanya” Aifa mengakhir kata-katanya. Aku terdiam lama sekali, memikirkan kebenaran yang diungkapnya. Aku tak mampu berkata apapun lagi setelah mendengar pernyataan Aifa barusan.
_______________
“Aku ingin bicara denganmu” kata Vic ketika jam pelajaran terakhir usai. Aku hanya memandangnya sebentar lalu membalikkan badanku untuk menghindarinya.
“Hei, dengarkan aku!” teriaknya, memegang bahuku.
“aku sedang tak ingin bicara denganmu!” kataku balas berteriak. Vic memutar tubuhku agar menghadap ke arahnya, namun aku memalingkan muka, sama sekali tak ingin melihat wajahnya.
“Lin… aku menyesal atas kejadian kemarin” ungkapnya pelan. “tolong jangan marah lagi”
“memangnya kapan aku pernah marah padamu? Dari pertama hingga sebelum hari ini, apa aku pernah membalas semua yang kau lakukan padaku? Aku hanya diam dan berusaha tetap tenang tiap kali kau membentakku seperti itu!” tubuhku kembali gemetar, menahan tangis.
“aku kan sudah bilang, aku menyesal, kenapa kau masih saja teriak-teriak seperti itu?” Vic berusaha mengimbangi suaraku. Rasanya ingin sekali aku menampar wajahnya kali ini, tapi aku urungkan niat cemerlangku itu. Aku hanya tak ingin terus berdebat dengannya, dan membuat hatiku semakin terluka karena itu.
“aku mau pulang” lirihku. Vic menggenggam tangan kiriku.
“biar aku antar” katanya. Aku menatap matanya, dan menerawang jauh mengenang kembali saat-saat kita masih menjadi seorang teman. Aku ingin sekali melihatnya tertawa tulus seperti dulu, tapi melihat raut wajahnya sekarang, aku rasa itu tak mungkin terjadi lagi.
Aku menurut saja ketika dia membawaku ke tempat parkir sambil terus menggenggam tanganku. Namun sebelum kami sempat menemukan sepedah motornya, ponsel dalam saku celananya berdering. Vic menghentikan langkahnya untuk menatapku, sebelum mengangkat telponnya dan menjauh dariku beberapa meter. Aku hanya memperhatikannya dari jauh hingga dia selesai bicara.
“Lin, maaf… aku tak bisa mengantarmu siang ini” kata Vic ketika telah berada di dekatku lagi.
“tadi siapa?” selidikku.
“em, ibuku. Aku harus menjemputnya sekarang” jawabnya. Aku tahu Vic berbohong padaku, karena baru beberapa hari yang lalu dia mengatakan bahwa ponsel ibunya hilang sehingga harus berulang kali meminjam ponselnya. Namun aku hanya menggangguk pelan, tak membantahnya sama sekali.
“maaf ya? Biar kuminta Nico untuk mengantarmu-“
“tak usah” potongku cepat. “aku bisa pulang sendiri, pergilah” lanjutku. Vic tersenyum memandangku lalu menghampiri motornya dan melesat pergi.
Aku mematung di tempatku berdiri, berusaha meyakinkan diriku bahwa Vic benar-benar pergi untuk menemui ibunya. Tapi aku tak dapat berkonsentrasi sama sekali sekarang ini. bisa kurasakan luka dalam hatiku kembali nyeri. Aku tahu yang dikatakan Aifa seratus persen benar, namun aku masih saja berusaha mencari alasan untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa pernyataan itu salah. Aku yakin… Vic masih mencintaiku, begitupun denganku.
Saat hendak kuputar tubuhku untuk melangkah pergi, aku nyaris menabrak seseorang di belakangku kalau saja dia tidak mengarahkan satu tangannya untuk memegang pundakku dan menghindari langkahku. Aku mengamati laki-laki itu, yang sekarang tengah tersenyum geli melihat ekspresi kagetku.
“hai” sapanya. Aku mengedipkan mata beberapa kali, sebelum akhirnya menyadari siapa dia.
“oh, hai” kataku gugup, berusaha membalas senyumnya sebaik mungkin. Kenapa aku selalu bertemu dengannya disaat seperti ini…
“mau pulang?” tanyanya. Aku mengangguk.
“em…ya. Sampai jumpa” jawabku, sedikit mempercepat langkah menjauhinya.
“Lin,” panggilnya. Aku berpaling ke arahnya lagi, setengah tak percaya bahwa dia benar-benar memanggil namaku.
“apa?”
“besok ada rapat osis, kau datang?” tanyanya lagi. Aku mengerutkan kening untuk berfikir, kemudian mengedikkan bahuku pelan.
“entah…” jawabku lirih. Laki-laki itu kembali mengulum senyum.
“datanglah, oke?” katanya, kemudian pergi begitu saja sebelum aku merespon pertanyaannya. Aku mengawasinya sampai dia menghilang dari jarak pandangku, sebelum akhirnya aku sadar, aku belum menanyakan siapa namanya…
______________
To be continued…
0 komentar:
Posting Komentar