✿ stay simple, stay humble ✿

Selasa, 20 Desember 2011

Story about love (4)



            Kujatuhkan tubuhku di atas ranjang, dan membungkam muka rapat-rapat dengan bantal. Aku gelisah, karena kebodohanku sendiri. Berulang kali melempar ponsel ke arah figura yang terpajang disisi kiri meja belajarku, kemudian mengambil dan mulai menyesalinya. Entah foto itu ataupun ponsel, keduanya sama-sama berharga buatku, juga sama-sama benda yang paling ingin aku hancurkan saat ini.
            Padahal baru seminggu Vic tidak mengirimiku sms ataupun menelponku sama sekali, tapi otakku sudah benar-benar dalam keadaan gawat darurat. Bagaimana bisa aku frustasi hanya karena masalah yang amat sangat sepele seperti ini? Bahkan di sekolahpun, aku semakin jarang bertemu dengannya karena kegiatan kami yang berbeda, saat pulang sekolah, aku harus segera berangkat les atau jika tidak, harus menghadiri rapat osis yang menjengkelkan itu.

            Selang beberapa menit sejak aku mengurungkan niatku melempar ponsel untuk yang keseribu kalinya, ponselku tiba-tiba saja berbunyi. Aku sudah siap akan mengutuk siapapun yang mengirimiku pesan karena telah membuatku berharap itu pesan dari Vic, namun tak kulakukan ketika melihat nomor asing yang tertera di dalamnya.
            ini Alin, kan?”
aku baca pesan itu dengan seksama. Siapa dia?
            ya. Siapa?”
            Tak sampai semenit, seseorang itu membalas pesanku.
            wakil sekretaris satu. Ingat?”
Aku membelalak menatap layar ponselku.
            “Raffy?”
                “yup..aku pikir kau tak tahu namaku :) sedang apa?”
                “hehe. Tak ada. Ada apa? Kenapa menghubungiku?”
 
Entah kenapa kegelisahanku tiba-tiba hilang begitu saja.
            “apa aku mengganggumu?” tanyanya.
      “tidak, hanya saja pasti kau punya alasan untuk itu”
          tidak juga, aku hanya ingin mengobrol, karena aku tak pernah menemuimu lagi di sekretariat. Kenapa?”
      “em, banyak yg harus aku kerjakan, kau juga jarang ke sana bukan?”
      Aku berpikir sejenak, mengingat kejadian baru-baru ini. Tiap kali aku melangkah masuk ke sekretariat Osis, hal pertama yang kulakukan adalah memastikan keberadaannya. Entah apa yang ingin aku katakan jika bertemu dengannya, hanya melihatnya saja, sepertinya suasana dalam ruangan itu terasa lebih hangat. Aku sama sekali tak tahu siapa dia, seperti apa latar belakangnya, ataupun bagaimana kehidupannya, namun ketika dia tersenyum, dia terlihat seperti laki-laki normal pada umumnya.

            “ya, jika kau tau seperti apa diriku, kau tak akan mau berurusan dengan orang seperti aku lagi :D”
                Aku mengangkat alisku ketika membacanya. Apa maksudnya? 
            “kita lihat, coba ceritakan orang seperti apa kau ini? :)”
     “tidak, tak ada yg menarik dalam hidupku utk diceritakan ke orang lain. Bagaimana jika kita membicarakan hal2 tentang kau saja?”
            Lagi-lagi aku memicingkan mata, tak percaya. Padahal sedetik sebelumnya aku merasa dia memancingku untuk mengenalnya lebih jauh.
            “eh? Kenapa? Juga tak ada hal menarik yg perlu kuceritakan padamu”
      “kalau begitu coba ceritakan hal yg menurutmu tidak menarik itu”
      “apa yg ingin kau tahu tentang aku?”
            “apapun”
            Dia benar-benar membuatku seperti anak autis yang terus menerus membelalakkan matanya menatap layar ponsel sambil tak henti-hentinya menggelengkan kepala. Sekarang apa yang harus aku katakan? Apa sebaiknya aku mengalihkan pembicaraan saja? Sebelum aku sempat mengetik balasannya, Raffy mengirim pesan untukku lagi.
      “kau suka senja?” katanya.
            Aku menggigit bibirku untuk mengekspresikan rasa syukur. Bagaimana dia bisa mengerti aku tak ingin membicarakan itu?
        “tidak terlalu, tapi karena ibuku sering mengatakan semua hal tentang senja, aku jadi sedikit tertarik” balasku. 
           Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba dia menanyakan hal itu, kukira dia bukan tipe laki-laki yang peduli dengan hal-hal semacam itu, karena Vic juga tak pernah sedikitpun membahas tentang alam.
            “ibumu? Em, indah bukan? Coba saja lihat cahayanya”
      “yah… bagaimanapun aku lebih suka memandang bintang :D”
            Kami menceritakan segala sesuatu yang berhubungan tentang langit, malam, dan hujan. Entah kenapa aku merasa sangat menyenangkan ketika mengatakan hal yang tadinya kukira sangat membosankan untuk jadi bahan pembicaraan. Selama ini aku juga sering mencoba berbicara pada bintang dan sebagainya, hanya ketika aku merasa sangat kesepian dan tak ada siapapun yang bisa diajak bicara. Aku juga merasa pola pikir Raffy nyaris sama seperti ibu, caranya menilai alam, seakan-akan mereka mempunyai nyawa dan bisa berinteraksi dengan kita.
            “kapan kita bisa bertemu? Rasanya ada banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu” kata Raffy, aku tersenyum.
            “aku tak tahu…” balasku.
            “bagaimana jika kau beritahu aku kalau kau akan ke sekretariat? Oya, apa kau suka menulis?”
      “tentu. Ya, aku suka, tapi tulisanku aneh…” aku malu mengatakan itu, tapi bagaimanapun aku tak bisa berbohong padanya tentang ini. Sebenarnya aku sudah berhenti menulis berbulan-bulan yang lalu.
            “aku ingin membacanya, bawakan untukku. Oke?” ucapnya ringan.
 
      “ya, kau juga harus membawakannya untukku. Bagaimana jika lusa?”
      “baiklah, aku tunggu di sekretariat”
            Aku bisa membayangkan dia tengah tersenyum saat ini. Setidaknya pikiranku sudah sedikit ringan sekarang, entah kenapa aku senang karena dia menghubungi malam ini. Siapapun yang memberikan nomor penselku padanya, aku akan sangat berterima kasih…
_____________
            Siang ini Vic berjanji akan menemuiku di depan kelasku sepulang sekolah, namun aku telah menunggunya hampir tiga puluh menit disini, dan tak melihat tanda-tanda keberadaannya sama sekali. Hatiku kembali gelisah, jadi kuputuskan untuk menemui Vic di kelasnya, mungkin saja dia ada disana.
            Ketika baru setengah jalan, aku tak sengaja melihat Aifa menarik lengan baju Vic untuk mengikutinya ke tempat yang lebih sepi. Reflek aku berlari untuk mengejer mereka, bersembunyi dibalik tikungan tempat mereka berdiri dan mencoba mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
            “katakan terus terang padaku, apa kau masih mencintai Alin?” Tanya Aifa sedikit menggertak.
            “apa maksudmu? Tentu saja aku mencintainya-“
            “jangan berbohong padaku!” Aifa memotong kalimat Vic dengan cepat. “aku melihat apa yang kau lakukan dengan Nia kemarin malam. Kenapa kau lakukan itu!” lanjut Aifa.
            Jantungku berpacu cepat ketika mendengar pernyataan Aifa barusan, seluruh tubuhku gemetaran, bahkan gigi-gigiku bergemeletuk pelan. Aku menengokkan kepala ke arah Vic untuk melihat wajahnya, namun Vic menundukkan kepala hingga aku tak bisa melihat ekspresinya dengan jelas.
            “aku bersahabat dengan Nia. Jangan memutuskan kesimpulan seenaknya saja…” balas Vic, nyaris tak terdengar olehku.
            “dan aku bersahabat dengan Alin. Jadi jelaskan padaku agar aku tak salah mengartikan ciumanmu dengan Nia semalam!” Aifa maju beberapa langkah mendekati Vic, memaksa Vic untuk menatap matanya.
            “kau… melihatnya?” Vic terdiam cukup lama sebelum mengatakan itu.
            Aku jatuh terduduk begitu saja, air mata mengambang dipelupuk mataku. Kudekapkan tanganku untuk membungkam mulut rapat-rapat agar suara isakku teredam, dan masih berusaha mendengarkan pembicaraan mereka.
            “ini kedua kalinya aku memperingatkanmu, jangan coba-coba mempermainkan perasaan Alin!” Aifa mengepalkan tangannya erat-erat. “kau tahu dia sangat mencintaimu, kenapa? Karena baru kali ini ada seseorang yang memperhatikannya seperti itu. Dia bahagia karena merasa masih ada yang peduli padanya selain aku. Bukannya dia telah menceritakan semua kisah hidupnya padamu? Tapi bagaimana kau bisa begitu tega melakukan itu pada Alin?” sambung Aifa.
            Aku mengerti sekarang, aku tahu. Aifa telah memberiku  kekuatan untuk melakukan hal yang menyakitkan itu. Dia benar, Vic bukan laki-laki yang baik untukku, jadi untuk apa lagi aku berusaha menutup-nutupi kebenaran di depan mataku?
            Aku mencoba berdiri dengan langkah limbung, dan berjalan ke arah mereka berdua. Vic terperanjat ketika melihatku, begitupun Aifa. Kuhapus air mataku dan tersenyum sambil menatap Vic lekat-lekat.
            “kita putus…” lirihku kemudian.

To be continued…
           

0 komentar:

Posting Komentar

© Lintangra, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena