Seorang pemuda belia dari kabilah Aslam
sedang termenung sendirian agaknya dia sedang sibuk memikirkan sesuatu yang
membebani hatinya. Pemuda itu bertubuh kuat, gagah, penuh gairah untuk
menghadapi masa depan yang penuh berbagai tantangan. Badannya tegap dan kuat,
sanggup untuk dihadapkan pada perjuangan seperti yang sedang dilakukan oleh
yang lain, jihad fisabilillah.
Adakah jalan yang lebih afdol dan lebih mulia
dari jihad fisabilillah...? Rasa-rasanya tak ada. Sebab itulah satu-satunya
jalan jika memang benar-benar telah menjadi tujuan dan niat suci untuk mencari restu dan ridho Allah SWT.
“Demi Allah, inilah satu kesempatan yang
sangat baik”, kata hati pemuda itu. Yah, sebab disana, serombongan kaum
muslimin sedang bersiap menuju juang jihad fisabilillah. Sebagian sudah
berangkat, sebagian lagi baru datang, dan akan segera berangkat. Semuanya
menampakkan wajah yang senang, pasrah, dan tenang dengan satu iman yang
mendalam. Wajah-wajah mereka membayangkan suatu keyakinan penuh, bahwa sebelum
ajal berpantang mati. Maut akan menimpa dimanapun kita berada. Yakin bahwa umur
itu satu. Kapan akan sampai batasnya, hanya Allah yang Maha Tahu. Bagaimana
sebab dan kejadiannya, takdir Allah-lah yang menentukan.
Maut, adalah sesuatu yang tak dapat dihindari
manusia. Dia pasti datang menjemput manusia. Entah disaat manusia sedang duduk,
diam di rumah, atau mungkin berada dalam perlindungan benteng yang kokoh,
mungkin pula sedang bersembunyi ditempat persembunyiannya di gua yang gelap, di
jalan raya yang ramai, ataukah di medan peperangan. Bahkan bukan mustahil maut
akan menjemput kala manusia sedang tidur, di atas tempat tidurnya. Semua itu
hanya Allah-lah yang berkuasa, dan berkehendak atasnya.
Menunggu kedatangan maut memang masa-masa
yang paling mendebarkan jiwa. Betapa tidak? Hanya diri sendirilah yang dapat
dibawa menghadap penguasa yang Esa kelak. Medan juang fisabillah tersedia bagi
mereka yang kuat. Penuh keberanian dan keikhlasan mencari ridho Allah semata.
Mereka yang berjiwa suci ditengah-tengah tubuh yang perkasa. Angan-angan ikhlas
yang disertai hati yang bersih. Memang, saat itu keberanian telah menjiwai
setiap kalbu kaum muslimin. Panggilan dan dengungan untuk jihad fisabilillah
merupakan angan-angan dan tujuan harapan mereka.
Mereka yakin, dibalik hiruk-pikuknya peperangan,
Allah telah menjanjikan imbalan yang setimpal baginya. Selain dengan itu dia
dapat membersihkan jiwanya dari berbagi noda. Baik itu berupa noda-noda aqidah,
niat-niat jahat, berbagi dosa perbuatan ataupun kekotoran mu’amalah yang lain. Pengorbanan
mereka yang mulia itu menunjukan kepribadian yang baik dan luhur. Semua sesuai
dengan ajaran agama yang murni. Pantas menjadi contoh dan teladan, bahkan
sebagai mercusuar yang menerangi dunia dan isi alam semesta.
Itulah renungan hati pemuda Aslam yang gagah
itu. Sepenuh hati dia berkata seolah kepada diri sendiri. “Harus ! harus dan
mesti aku berbut sesuatu. Jangan kemiskinan dan kefakiran ini menjadi hambatan
dan penghalang mencapai tujuanku.”
Mantap, penuh keyakinan dan semangat yang
tinggi, pemuda tersebut menggabungkan diri dengan pasukan kaum muslimin. Usia
pemuda itu memang masih belia, namun cara berfikir dan jiwanya cukup matang,
kemauannya keras, ketangkasan dan kelincahan menjadi jaminan kegesitanya di
medan juang. Namun mengapa pemuda yang begitu bersemangat itu tak dapat ikut
serta dalam barisan pejuang?
Sebabnya hanya satu. Dia tidak mempunyai
bekal dan senjata apa-apa yang dapat dipakainya untuk berperang karena
kemiskinan dan kefakiranya. Sebab pikirnya, tidak mungkin untuk terjuang ke
medan perjuangan tanpa senjata apapun. Tanpa senjata dia tidak mampu melakukan
apapun. Bahkan dia tidak akan berfungsi apa-apa. Mungkin untuk menyelamatkan
diri saja, dia tidak mampu. Inilah yang menjadikan pemuda itu berfikir panjang
lebar. Otaknya bekerja keras agar hasratnya yang besar berjuang dapat tercapai.
Setelah tidak juga dicapainya pemecahan, dia
pergi menghadap Rasulullah SAW. Diceritakan semua keadaan dan penderitaan serta
keinginannya yang besar. Dia memang miskin, fakir dan menderita, namun dia tidak
mengharapkan apa-apa dari keikutsertaannya berjuang. Dikatakannya kepada
Rasulullah SAW, bahwa dia tidak meminta berbagai pendekatan duniawi kepada
Rasulullah. Dia hanya menginginkan bagaimana caranya agar dia dapat masuk
barisan pejuang fisabilillah.
Mendengar hal demikian, Rasulullah bertanya,
setelah dengan cermat meneliti dan memandang pemuda tersebut: “Hai pemuda,
sebenarnya apa yang engkau katakan itu dan apa pula yang engkau harapkan?”
“Saya ingin berjuang, ya Rasulullah!” jawab
pemuda itu.
“Lalu
apa yang menghalangimu untuk melakukan itu”, tanya Rasulullah SAW kemudian.
“Saya tidak mempunyai perbekalan apa-apa
untuk persiapan perjuangan itu ya Rasulullah”, jawab pemuda tersebut terus
terang.
Alangkah tercengangnya Rasulullah mendengar
jawaban itu. Cermat diawasinya wajah pemuda tersebut. Wajah yang berseri-seri,
tanpa ragu dan penuh keberanian menghadap maut, sementara disana banyak kaum
munafikin yang hatinya takut dan gentar apabila terdengar panggilan seruan
untuk berjuang jihad fisabilillah.
Demi Allah! Jauh benar perbedaan pemuda itu
dengan para munafiqin di sana. Kaum munafiqin yang dihinggapi rasa rendah diri,
selalu mementingkan diri-sendiri. Mereka tidak suka dan tidak mau memikul beban
dan tanggung jawab demi kebenaran yang hakiki. Kaum yang tidak senang hidup
dalam alam kedamaian dan ketentraman dalam ajaran agama yang benar. Mereka
lebih suka berada dalam hidup dan suasana kegelapan dan kekalutan. Ibarat
kuman-kuman kotor, yang hidupnya hanya untuk mengacau dan menghancurkan apa
saja. Celakalah mereka yang besar dan tegap badan serta tubuhnya namun licik
dan kerdil pikiran serta hatinya.
“Kebanggaanlah bagimu yang tepat hai pemuda!
semogalah Allah banyak menciptakan manusia-manusia sepertimu. Yang dapat
menjadi generasi penerusmu. Yang akan menjunjung tinggi kemuliaan Islam, budi
pekerti yang mulia menuju alam yang bahagia sejahtera lahir batin.”
Benar, kaum muslimin sangat memrlukan jiwa
yang demikian. Jiwa yang besar penuh keyakinan, dan juga keberanian yang
mantap. Sepantasnya pemuda seperti dari kabilah Aslam itu mendapat segala
keperluan serta keinginanya untuk melaksanakan hasrat cita-cita keinginan itu.
Rasulullah SAW akhirnya berkata kepada pemuda Aslam tersebut:
“Pergilah engkau kepada si Fulan! Dia yang
sebenarnya sudah siap lengkap dengan peralatan berperang tapi tidak jadi
berangkat karena sakit. Nah pergilah kepadanya dan mintalah perlengkapan yang
ada padanya.”
Pemuda itu pun bergegas menemui orang yang
ditunjukan Rasulullah SAW tadi. Katanya kepada si Fulan:
“Rasulullah SAW menyampaikan salam padamu
juga pesan. Beliau berpesan agar perlengkapan perang yang engkau miliki yang
tidak jadi engkau pakai pergi berperang agar diserahkan kepadaku.”
Orang yang tidak jadi berperang itu penuh
hormat menjalankan perintah Rasulullah SAW sambil mengucapkan:
“Selamat datang wahai utusan Rasulullah! Saya
hormati dan taati segala perintah Rasulullah SAW.”
Segera dia menyuruh istrinya untuk mengambil
pakaian dan peralatan perang yang tidak jadi dipakainya. Diserahkan semua itu
pada pemuda kabilah Aslam. Sambil mengucapkan terimakasih pemuda tersebut
menerima perlengkapan itu. Sebelum dia berangkat dan meninggalkan rumah itu, pemuda
tersebut sempat berucap:
“Terima kasih sebesar-besarnya. Anda telah
menghilangkan seluruh duka dan keputusasaanku. Bagimu pahala Allah yang besar
tiada taranya. Terimakasih… Terimakasih.”
Pemuda suku Aslam itu kemudian keluar dengan
riang. Wajahnya bersinar gembira. Dengan berlari-lari dia meningalkan rumah
orang yang tidak jadi berperang itu. Di tengah jalan pemuda tersebut bertemu
dengan salah satu temannya yang keheranan. Tanyanya:
“Hai,
hendak kemana engkau?”
“Aku
akan menuju janntul firdaus yang selebar langit dan bumi”, jawab pemuda itu
dengan singkat dan jelas.
Sumber: Zilzaal
0 komentar:
Posting Komentar